(Zikra/MTs DMP Diniyyah Puteri)

“Adek.” Begitulah ejekan yang sering kudengar. Hari-hariku penuh dengan rasa kesal, apalagi dengan teman-temanku. Setiap hari mereka selalu mengejekku, di sekolah maupun di asrama. Kesal, kesal, kesal! Hanya karena badanku lebih pendek mereka begitu. Benci rasanya! Memang, kami baru punya adik kelas karena baru naik kelas 8. Banyak adik kelas yang bertubuh lebih tinggi dariku.

“Hei, adek! Kamu harusnya disana,” kata Diana sambil menunjuk salah satu kelas 7.

“Diana, aku gak suka dipanggil begitu,”kataku kesal.

“Ya, kamu itu kayak adek-adek,” jawabnya lalu mencubit pipiku.

Selain mereka mengejekku ‘adek’, mereka juga suka mencubit pipiku. Kata mereka, pipiku tembam, jadi bikin gemas. Sudah dibilangin berkali-kali, masih saja mereka mencubit pipiku. Bikin kesal! Kadang mereka bukan menyebutku ‘adek’ tapi ‘watasi’ alias ‘wajah tanpa ekspresi’. Menurut mereka, aku ini tak punya ekspresi. Memangnya aku gak punya ekspresi selalu? Tidak mungkin, kan?

Setelah cemberut gara-gara Diana, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku dengan penuh kesal.

“Hei!” tegur Liya yang lewat depan mejaku. Aku hanya diam dengan cemberut.

“Ya, Allah! Watasi kali kamu,” katanya lalu pergi.

Kesal! Di asrama pun mereka juga begitu. Saat di depan asramaku, ada Anis menghampiriku.

“Dek, ngapain kesini? Mau cari kakak siapa?” tanyanya.

“Anis, aku gak suka dibilang gitu,” kataku mulai emosi.

“Makanya, kamu itu besar sedikit,”jawabnya cuek.

Karena aku makin emosi, aku langsung masuk asrama dan berbaring di kasurku sambil memendam rasa kesalku hari ini. Sudah dua kali dipanggil ‘adek’, dicubit pipiku, dan dibilang ‘watasi’ pula. Kesal, kesal, kesal banget! Aku tahu mereka bercanda, tapi hal itu membuatku tersinggung. Mereka tahu aku tidak suka dan aku agak emosional. Tapi, mereka masih saja begitu. Ugh! Kapan mereka mau berubah?

“Kamu kenapa, Rik? Diejek lagi?” tanya Akira, teman asramaku.

“Iya, sudah kubilang gak, tapi mereka masih begitu,” jawabku sambil menyembunyikan muka kesalku di balik bantal.

“Sabar, ya!” katanya.

“Ih, kamu tahu aku ini emosional, kan? Susah rasanya!” kataku.

“Gimana kalau kamu ke tempat konseling di asrama? Kamu itu agak tertutup orangnya, sekali-sekali lebih terbuka dong,” usulnya.

Benar juga rasanya kalau pergi ke tempat konseling. Aku ini sedikit tertutup. Jika ada masalah, kupendam atau diceritakan ke orang tertentu.

“Baiklah, tapi besok.”

“Kenapa?”

“Ya, kamu tahu masih sedikit emosi. Lama redanya.”

Akira hanya menggelengkan kepalanya.

Besoknya, aku mencoba pergi ke tempat koseling. Aku mengetuk pintu.

“Assalamu ‘alaikum.

“Wa‘alaikumussalam, silahkan masuk!”jawab orang yang ada di dalam.

Aku masuk dan di dalam sudah ada Umi Syidah.

“Kenapa, Rika? Ada masalah?” tanya beliau.

“Iya, Umi. Belakangan ini aku suka dibilangin adek sama teman-teman. Gak hanya itu, Umi. Mereka suka bilangin aku watasi atau wajah tanpa ekspresi dan sering mencubit pipiku. Sudah kubilang aku gak suka, tapi mereka masih melakukannya.” keluhku.

“Rika tanggapi mereka, gak?”

“Iya, Umi,”

“Nah, disitu letaknya. Jadi, kalau ada yang melakukan hal itu pada Rika, jangan dilawan. Kalau dilawan, mereka akan terus mengganggu Rika. Umi tahu Rika agak emosional dan kurang sabar, Tapi, Rika harus mencoba untuk sabar. Mereka akan bosan kalau tidak ditanggapi,” jelas beliau.

“Tapi susah, Umi”

“Susah bukan berarti tidak bisa, kan?”

Aku sempat terdiam.Benar juga apa yang dibilang Umi. Mestinya aku lebih sabar seperti dibilang Akira. Aku sempat berpikir untuk mencoba. Apa salahnya mencoba, bukan? Mungkin cara ini berhasil.

“Baiklah, terima kasih Umi. Rika balik dulu, ya.” Aku pamit dan salam kepada Umi Syidah.

“Iya, sama-sama.”

“Assalamu‘alaikum, Umi!”

“Wa‘alaikumussalam!”

Aku segera kembali ke asrama.

Besoknya, aku mencoba apa yang dikatakan Umi Syidah. Saat jam istiharat, Diana kembali mengejekku.

“Dek, mau kemana?” tanyanya.

Ingin marah rasanya, tapi aku tahan. Aku segera pergi darinya. Diana heran mengapa aku begitu. Di kelas, Liya juga memanggilku.

“Hei, watasi!” tegurnya.

Aku pura-pura tidak dengar lalu melanjutkan aktivitas yang lain. Seperti halnya Diana, Liya heran juga.

Di asrama Anis juga melakukan hal yang sama.

“Adek!” sapanya.

Aku seperti tadi, pura-pura tidak tahu.

Hal ini terus-terus begitu. Hari demi hari berlalu. Mereka yang suka mengejekku akhirnya meminta maaf. Kurasa karena mereka bosan tidak kutanggapi. Hal ini kuceritakan kepada Akira.

“Akira, akhirnya gak ada ejekan lagi,” kataku senang.

“Tu, kan? Kubilang kamu bisa untuk sabar,” jawab Akira.

“Iya. Makasih sarannya.”

“Tidak masalah, Rik!”

Hari-hari penuh kesal sudah tiada. Kini, hari-hari penuh kesenangan.