(Maulidia Parasmita Rozi/MAS KMI Diniyyah Puteri)

Di sudut kelas, sekelompok gadis tengah bergosip ria. Tepat di sebelah, mungkin hanya berjarak kurang lebih satu meter dari Dodi, terdapat perkumpulan lelaki yang sedang bermain dengan sejumlah kartu dan berita bola yang menggemparkan kaum Adam. Sedangkan di bagian depan, para remaja cantik nan jelita heboh ketawa cengengesan membahas fashion masa kini.

Hawa sejuk berhembus dari luar. Angin sepoi-sepoi membuat kelopak mata Dodi bagaikan nyiur melambai. Topangan yang sempat menegakkan kepalanya, seketika ambruk ke papan berwarna biru yang terbuat dari kayu jati. Namun tidur dalam posisi duduk mengundang rasa tidak nyaman. Ditambah lagi dengan insiden yang sedang terjadi di kelasnya.

Dodi memutar haluan kepalanya seratus delapan puluh derajat ke arah belakang. Respon yang dihadirkannya hanya sebatas gelengan kepala terhadap tingkah laku teman-temannya. “Sekarang kelas bagaikan pasar basah,” keluhnya pelan.

Seketika masuk seorang wanita dengan sepatu high hitam mengilap disertai lima butir mutiara imut memberikan nuansa mewah dan elegan. Ia berjalan anggun menuju kelas kemudian mengambil posisi siap siaga untuk mengabsen siswa yang hadir.

“Hari ini kita akan belajar mengenai peta.” Goresan tinta tebal telah mengotori papan putih dengan noda hitamnya.

“Sebelum kita memahaminya lebih lanjut, kita harus mengetahui terlebih dahulu dasarnya, yaitu definisi peta.” Mata wanita yang telah menginjak usia setengah abad itu melirik-lirik siapa yang berani tanpa harus ditunjuk.

“Siapa yang bisa?” tanya sang guru kemudian.

Detik demi detik hanya diisi dengan kesunyian.

Sesosok tubuh yang dibalut batik cokelat disertai terusan selendang panjang menutupi rambutnya mencoba memberanikan diri melawan pertanyaan sang guru.

“Oke. Kamu!” Telunjuk wanita itu bergerak cepat menyambar ke arah wajah sang murid.

Sosok berpakaian batik cokelat itu berdiri tegap. Merapikan pakaiannya yang tidak lusuh.

“Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Perkenalkan nama saya Dini. Lebih tepatnya Dini Dwi Lestari. Sebelum saya menjawab pertanyan ibu, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Seketika suasana menjadi tegang.

“Baiklah. Silahkan.”

“Tahukah ibu pepatah yang mengatakan ‘Tak kenal maka tak sayang’?” Nada suara Dini terdengar sok menceramahi.

“Tahu,” jawab sang guru.

“Hmm... bisakah ibu menunjukkan identitas ibu terlebih dahulu. Agar kedepannya nanti, kita bisa lebih akrab gitu. Seperti ada kontak batin antara ibu dan anak. Monggo atuh, bu.” Logat Jawanya keluar. Dini yang masih tetap mempertahankan ekspresi sok manis, dengan pipi cubbynya seperti ikan gembung, membawa suasana menegangkan menjadi ledakan unjuk gigi.

“Oh, sepertinya kamu siswa yang tidak hadir pada pelajaran saya minggu lalu.” Wanita paruh baya itu mengambil spidol di atas meja dan mulai melukiskan beberapa huruf di papan tulis.

“De..si..nga..riyan..ti,” eja Dini ketika bu Desi menuliskan namanya.

“Nama ibu adalah Desi Ngariyanti. Mungkin kalian bisa memanggil ibu dengan panggilan ibu Desi.” Tatapan ibu Desi tertancap tepat di bola mata Dini.

“Kalau saya memanggil ibu Des atau ibu Riyan atau juga ibu Yanti, boleh nggak, bu?” Nada suara Dini terdengar centil.

“Boleh-boleh saja. Asalkan jangan panggil ibu singa.” Ibu Desi hanya tersenyum dengan kata-katanya sendiri.

“Singa?” Reza masih bingung dengan perkataan bu Desi, sementara anak-anak yang lain sudah asyik dengan candaan tersebut.

Tidak sengaja Fizi mendengar perkataan Reza dan melihat mimik wajahnya yang masih kebingungan.

“Dasar kamu, Reza. Lola banget sih.” Fizi pun memberi tahu Reza apa yang terjadi dengan kata ‘singa’ yang dilontarkan oleh bu Desi.

“Hahaha.. haha...” Semua mata tertuju ke arah Reza.

Suara tawa telah usai. Namun Reza yang baru menyadarinya, membuat isi kelas menjadi heboh kembali.

“Huhu... Reza telat ketawanya,” timpal teman-temanya.

“Peta adalah suatu petunjuk yang dapat mengantarkan manusia ketempat tujuannya.” Dini menjawab pertanyaan yang belum sempat dijawabnya.

“Ada lagi?” tanya bu Desi.

Kali ini Fizi yang berbicara, “Peta itu yang ada di dalam atlas atau globe. Terkadang ada yang menjadikannya pajangan dinding.”

Ibu Desi hanya mengangguk membenarkan jawaban Fizi. Namun karena belum merasa puas, bu Desi tetap bertanya kepada anak didiknya.

“Siapa lagi yang bisa menyempurnakannya?”

“Peta adalah petunjuk jalan yang mengarahkan kita menuju kekayaan alami yaitu harta karun.” Tangan Reza yang dibentangkan ke samping membuat teman-temannya melongo melihat gerakan yang dilakukan Reza.

“Reza kebanyakan nonton film kartun, nih,” kata Tania yang merasa aneh dengan tingkah laku Reza.

Akhirnya bu Desi memberikan definisi peta yang sebenarnya.

“Peta adalah gambaran umum permukaan bumi pada bidang datar yang diperkecil dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan tulisan serta simbol sebagai keterangan.”

“Aduh, bu. Panjang banget definisinya,” kata Fizi menggaruk-garuk kepalanya yang berminyak.

“Ambil kata-kata yang penting saja. Kemudian dibuat dalam bentuk kalimat.” Ibu Desi menjelaskan dengan penuh kasih sayang.

“Terus definisi yang kami ajukan salah, bu?” Dini memasang muka cemberut.

“Definisi yang kalian buat sudah benar. Hanya saja kurang sempurna. Siapa yang tahu kata-kata penting dari definisi yang ibu buat?”

“Gambaran umum,” kata Fizi.

“Bidang datar,” jawab Dini.

Reza langsung menerobos Dodi. “Saya, bu. Skala. Benar nggak?”

Ibu Desi hanya mengangguk membenarkan. Kemudian memberi peluang kepada Dodi untuk menjawab.

“Simbol,” kata Dodi kesal.

***

“Dodi arahkan kapal ke arah selatan!” perintah Reza sambil menerka-nerka dimana pulau misterius itu berada.

“OK, kapten.” Dodi melesatkan putarannya sesuai instruksi.

“Simbol apa ini?” tanya Reza bingung melihat kertas usang tersebut.

“Kapten, kapten di depan sana ada pusaan air yang besar.” Dini perompak wanita satu-satunya di kapal meneriaki sang kapten.

“Dodi, belokkan kapal ke arah kiri. Fizi, tutup kembali layarnya supaya kapal tidak melaju dengan cepat.” Reza pun ikut membantu teman-teman perompaknya.

“OK, kapten,” jawab Dodi dan Fizi kompak.

“Reza!” Dentuman keras mendarat di meja Reza. Lamunan Reza langsung buyar karena dentuman keras memukul mejanya.

“Kamu lagi melamun, Reza?” tanya bu Desi.

“Biasa, bu. Lagi menghayal dapat harta karun.” Tania kelihatan senang sekali menjahili Reza.

Ibu Desi hanya bisa menghela nafas.

“Jadi setiap peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa bumi, atau tsunami, bisa dibaca melalu peta, bu?” tanya Dodi.

“Tepat sekali. Seperti peristiwa gempa bumi dua hari yang lalu.”

“Iya, bu. Kok bisa berita tentang kekuatan gempanya langsung diketahui secara cepat?” tanya Dini heran.

“Bahkan dalam hitungan menit saja semua orang bisa mengetahui kekuatan gempa dan pusat gempa,” tambah Dodi yang masih penasaran.

“Ada yang tahu nama alat pengukur gempa?” Begitulah cara bu Desi membangkitkan gairah penasaran muridnya.

“Kalau tidak salah namanya seis.. seis..,” kata Reza yang sedang berpikir keras mengingatnya.

“Seismograf,” jawab teman-temannya serentak.

“Betul. Seismograf merupakan alat untuk mengukur seberapa kuat pergeseran lempeng bumi serta kita juga bisa mengetahui dimana pusat gempa berada.”

“Terutama Sumatera Barat merupakan Provinsi yang rawan gempa kan, bu?” tanya Fizi.

“Benar sekali.” Air muka bu Desi mendadak berseri-seri.

“Orang yang bekerja seperti itu apa nama kantornya, bu?” Dodi mulai menampakkan keterlibatannya.

“Namanya BMKG.”

“Apa kepanjangannya, bu Desi?” tanya Tania.

“Badan Meteorologi dan Geofisika. Betul, bu?” jawab Dini bangga.

Pintar anak-anak ibu ini.” Senyum merekah tersungging dari bibir merah bu Desi.

***

“Tania, coba lihat ini.” Mimik wajah Dodi mendadak tegang.

“Gempa susulan sepertinya akan terjadi lagi nanti malam. Tepatnya tengah malam,” lanjut Dodi memasang mimik cemas.

“Kalau begitu kita harus mengumumkan ke seluruh warga sekitar untuk waspada terhadap gempa susulan.” Tania ikutan panik.

“Reza dan Fizi, tolong sebarkan berita gempa susulan melalui siaran radio.” Jemari Dodi bergerak tanggap dalam memberikan perintah.

“Sedangkan kamu, Dini. Sebarkan berita melalui Minang TV,” lanjut Dodi memberi instruksi.

“Siap, pak,” jawab rekan-rekan kerjanya.

“Kejadian tahun dua ribu sembilan jangan sampai terulang kembali. Banyak sekali korban berjatuhan karena peristiwa alam ini.”

Tania yang mendengarkan perkataan bosnya hanya menjawab dengan anggukan.

Sementara itu ibu Desi berkeliling dari satu baris meja ke barisan meja yang lain. Memastikan murid-muridnya tetap fokus dengan materi yang disampaikan.

Dodi yang sedang menerawang keluar jendela, tertangkap basah oleh bu Desi.

“Ada pohon besar di luar sana. Teduh, sejuk, adem, dan nyaman jika kita duduk di akar-akarnya yang kekar. Di sebelahnya ada lapangan hijau yang asri dan dikelilingi banyak bunga yang cantik rupawan,” bisik bu Desi tepat di daun telinga Dodi.

“Hehehe..., ibu...” Dodi tersipu malu karena ketahuan tidak menyimak pelajaran.

Ibu Desi mengelus-elus kepala Dodi dengan lembut. Kemudian melanjutkan materi selanjutnya.

“Di kehidupan sehari-hari, peta sangat berguna dalam kehidupan kita. Contohnya..,” perkataan bu Desi langsung dipotong oleh Tania.

“Contohnya saja ketika sesat di jalan.” Ekspresi Tania tidak kalah bangga dari Dini.

“Betul sekali. Ketika tersesat di jalan, kita bisa menggunakan peta sebagai penunjuk arah jalan. Bahkan sekarang peta telah tersedia dalam bentuk digital.”

“Seperti google map ya, bu?” kata Dini menunggu kepastian.

“Iya. Nah, bentuk sistem peta digital ini dikenal dengan sebutan SIG,” balas bu Desi.

“Apa lagi tuh, bu?” tanya Fizi keheranan.

“SIG merupan sistem informasi geografis yang mengarahkan gambar tiruan tentang wilayah yang lebih luas menggunakan teknologi. SIG ini mempunyai tiga unsur penting yaitu manusia, pengetahuan, dan komputer.”

“Oh, saya mengerti, bu. Manusia yang mengendalikan. Pengetahuan sebagai dasar terciptanya objek yang diinginkan. Kemudian komputer sebagai alat bantu terciptanya objek baru yaitu peta modern atau peta digital.” Tania menjawabnya dengan ceria dan bersemangat.

“Tepat sekali.” Rasa senang dan bangga membekas dari wajah bu Desi yang di beberapa bagiannya sudah tercipta kerutan.

Dering bel tanda istirahat pun berbunyi.

“Ibu senang sekali melihat para generasi muda antusias dalam menerima ilmu. Mohon dipertahankan, ya.”

“Ibu Desi Ngariyanti, senang berkenalan dengan anda. Saya harap kita semua bisa bertemu di pembelajaran selanjutnya.” Dini sigap berdiri serta melontarkan rasa senang dan hormat kepada wanita yang lebih mirip omanya.

Ibu Desi membalas dengan senyuman. Kemudian keluar dari kelas.

# # #

(Qurrata Akyuni/MAS KMI Diniyyah Puteri)

Surya merah telah kembali keperaduannya. Kumandang azan pertanda waktu Maghrib terdengar saling bersahutan. Hingga angin lembut pun serasa menusuk siapapun yang masih berkelana diluar rumah.

“Gubrakk..” Dentuman keras pintu mengadu dinding. Tampak sosok bapak berdiri lengkap dengan wajah sangarnya.

“Naura... Naura... dimana ibumu?” teriak bapak dari pintu. Namun tidak ada jawaban. Segera bapak berlalu mencari ke seluruh sudut rumah. Setelah 5 kali putaran jarum jam dinding yang membisu, akhirnya tersimpul senyuman licik, khas bapak. Langsung ditujunya sebuah kamar yang selalu dijadikan tempat persembunyian sipemilik rumah.

“Pasti kalian ada didalam. Cepat buka pintunya!” teriak bapak yang sudah tau pasti pintu itu terkunci. Lagi-lagi tak terdengar sahutan. Secepat kilat, pintu itu sudah rata dengan lantai.

“Sudah kuduga kalian disini.” Tatapan tajam bapak mengarah pada kami, tiga orang yang tengah tersungkur dengan berbalut telekung.

Rasanya tidak ada orang sepekak ini. Perlukahmik dari balai desa sana kuangkut!?” lanjut bapak. Kali ini bukanlah jawaban yang memuaskan hati yang didapatnya. Tapi tangisan piluyang kian menjadi-jadi, yang akan membuat iba siapapun yang mendengarnya. Namun bagaikan baja, hati bapak tak tersentuh sedikitpun.

Seketika Sofia melepaskan dekapan erat ibu. Dia berlari menuju bapak, “Bapak... bapak... kok bapak jahat sama pintu?” rengek Sofia, adikku dengan polosnya.“Pintu kan gak pernah ganggu bapak. Terus bapak juga jahat sama ibu,sama kakak,sama Sofia juga. Bapak jahat!” lanjut Sofia dengan tangisan sambil melayangkan tangan mungilnya kepada bapak.

Belum selesai Sofia mengelap ingusnyayang keluar, tangan bapak pun melayang hingga Sofia terseret meskipun tidak terlalu jauh. Melihat itu, ibu langsung berlari dan memeluk dengan kasih sayangnya.

“Astagfirullah, pak! Nyebut, pak.Nyebut. Ini Sofia anakmu.” Tak henti-hentinya ibu mengelus kepala Sofia yang tadi terbentur.

“Halah, ndak usah berlebihan. Itulah kau, anak terlalu dimanja.” Omongan ngawur bapak tak berhenti memekakkan telinga.“Baru jatuhsedikit saja, nangis seperti ada kematian.”

Ibu yang masih sibuk dengan Sofia tiba-tiba ditarik bapak hingga Sofia terjatuh untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tenaga ibu terlampau lemah untuk memberontak tarikan itu. Ibu diperlakukan seakan tak bernyawa. Hingga mereka berhenti di teras rumah.

“Lihat itu! Si Ceker mampus gara-gara kau!” bentak bapak sambil menunjukkan ayam sabungan kesayangannya.Tangannya sudah melekat di telekung ibu, siap untuk menjambak. “Makanya turuti kata suami! Dasar istri ndaktau diri!”. Kalimat demi kalimat terlontar diikuti jambakan. Rambut yang tersembunyi sudah menampakkan diri. Telekung sedari akad nikah mereka dulu, robek untuk kesekian kalinya.

“Bapak, cukup!” teriakku dari belakang. Sofia hanya mampu bertekuk dibalikku. “Naura bersumpah, Naura menyesal pernah punya bapak!” Mukaku memerah dihujani butiran air mata. Kalimat itu terucap sangat sempurna. Tampak jelas aku telah lama memendamnya. Kini semua terungkap tanpa rasa takut akan pukulan yang pasti menghantamku.

***

Mentari tersenyum indah. Rumah yang berlautkan tangisan pun ikut merasakan kehangatannya. Muka lebamku tampak jelas dalam pantulan cermin. Jilbab putih yang menyibukkanku setiap pagi telah membuatku lupa akan drama rutin tadi malam.

“Kakak..., Kakak.... Ibu sudah nunggu di bawah!” teriak Sofia menandakan sudah saatnya berangkat ke sekolah.

“Iya, bentar lagi kakak turun.” Segera kumasukkan tumpukan kertas diatas kasur. Aku langsung berlari menuruni tangga papan rumahku yang berhubungan dengan sebuah ruang sederhana yang kami sebut ruang tamu. Seperti biasa, terdengar dengkuran dari atas kursi kayu panjang yang telah dilapisi ibu dengan kasur. Suara yang akan menghiasi rumah kamihingga pulang sekolah nanti.

“Belajar yang rajin, nak,” kata ibu sambil memelukku. Lambaian tangan Sofia terus berkibar saat motor yang dikendarai ibu makin jauh pergi meninggalkanku yang masih terpaku didepan gerbang. Aku menghela nafas panjang, “Huhhhh, semangat Naura!”.

Aku berjalan menuju kelasku sambil menempelkan kertas-kertas di setiap sudut. Aku tersenyum lega setelah tumpukan kertas yang sudah lama kupersiapkan itu ludes tertempel.

Tiba-tiba sekelompok lelaki menghampiriku sambil tertawa-tawa. Kertas yang telah tertempel itu mereka baca, “Pilih Naura Dinda Fresa sebagai calon ketua OSIS angkatan 28. Visi dan mi....” Belum tuntas semua terbaca, “Stoooppp!

“Hahaaa yakin mau nyalon jadi ketos?” cemooh salah satu dari mereka.

“Syaratnya banyak lho, salah satunya orangtua harus bekerja dengan halal!” sahut yang lain disertai gemuruh tawa yang tak kunjung henti.

Aku tertunduk lesu. Tak kuasa menjawab sepatah katapun dan berlari menjauh.

Setibanya di kelas,nafasku tak beraturan.Aku mencoba membuka pintu, ternyata terkunci. Jantungku kembali berdetak hebat melihat tulisan tinta merah tertempel di daun pintu, “Anak Penjudi Dilarang Masuk!”. Bak petir menyambar, tubuhku terkulai lemah menyandar pada dinding. Bayangan bisu masa lalu kembali menghantui. Hingga aku tak berdaya menghadapinya, “Ya Allah sehina inikah hidupku”. Runtuh sudah pertahanan, air mata menerobos hingga tak terbendung.

“Hai, guys! Hari ini aku ultah. Kalian boleh makan sepuasnya, aku yang bayar,” tawarku pada temanku dengan wajah ceria. Namun semua hanya terdiam, tak ada yang peduli. “Ayolah ambil, mumpung aku lagi baik lho,” lanjutku dengan senyuman yang semakin menggoda. Aku mendekat. Kugapai tangan seorang temanku untuk menuju kantin.

Belum selangkah, mereka berlari, “Woy sadar diri dong! teriak salah satu dari mereka.

Lopikir kita mau makan uangharam. Hasil nyabung ayam, hasil judi gituan hah!?” sambut lainnya dengan bentakan menghina.

Aku pulang dengan marah. Langsung kutuju dapur. Bolak-balik tak menentu dengan kepalan tangan hendak meninju. Dan akhirnya dapat. Pisau. Tanpa pikir panjang, aku mengendus-ngendus mencari bapak. Seperti biasa bapakmasih terlelap di kursi itu. Bola matanya memerah seakan dikendalikan makhluk halus. Dengan kencangnya aku berlari menuju kandang ceker dan memotongnya sadis.

“Naura. Naura. Bangun, nak! Kok tidur di depan pintu?

Aku terkejut seketika sudah ada bu Ida yang menatapku kasihan. Dielus-elusnya pundakku dengan lembut. “Naura kenapa, nak? Ayo masuk. Lihat teman-temanmu sudah duduk rapi,”ujarnya sambil menunjukkan seisi kelas yang tengah menatapku dengan anehnya. Meskipun rombongan lelaki tadi tertawa terbahak-bahak di kursi bagian belakang.

***

Rindang pohon menyapu jilbabku ditambah angin sepoi yang begitu memanjakan. Pikiranku kembali segar sembari menikmati sebekal seurabiyang kubeli di kantin tadi. Tiba-tiba dari pengeras suara yang tersebar di sekolah, “Panggilan kepada Naura Dinda Fresa, silahkan ke ruang kepala sekolah saat ini.”

Aku tak mengerti kenapa namaku dipanggil. Aku tak beranjak sedikitpun. Aku bertanya dalam hati,“Kalau dipanggil ke ruang kepala sekolah, ini pasti masalah penting.” Kemudian namaku dipanggil untuk kedua kalinya. Aku segera berlari menuju ruang kepala sekolah.

Di tengah perjalanan, aku berhenti. Kulihat darikejauhan bapak marah-marah sambil memeluk cekerdi ruang kepala sekolah. Terlihat pula 2 orang polisi mengawalnya.Hampir seisi sekolah bergerombol mengelilingi bapak. Tak terkecuali ada yang melemparinya dengan daun kering yang berjatuhan dari pohon kecil di sekitar ruangan itu.

Aku tak tau harus berbuat apa. Tiba-tiba bapak melihatku dan langsung berlari menghampiriku. Semua yang menyaksikan itu segera berhamburan menuju tempatku terpaku seorang diri.

“Hei,Naura. Mana ibumu? Udah tua, gak berguna lagi.” Bapak berteriak sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman polisi. “Uang sudah habis. Belum makan. Belum bayar hutang.” Suara bapak melemah. Tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri.

Aku semakin bingung. Bu Ida, wali kelasku memelukku erat. Aku diajak masuk ke ruang kepala sekolah. Aku diperlakukan sangat baik, berbeda dari biasanya. Diberi minum dan disuruh istirahat. Tapi aku menolak.

“Bu, ada apa ini? Kenapa bapakku dibawa polisi?” Aku bertanya sangat ketus, seakan-akan bapakku tak pernah bersalah.

Bukannya jawaban yang kudapat, tapi malah tangisan pilu bu Ida terdengar. Seketika aku teringat sesuatu, “Dimana ibuku?” Kali ini aku beteriak sambil melepaskan genggaman bu Ida.Aku ingin segera berlari, namun ditahan.“Bu, jawab, dimana ibuku!?”Kumemaksa tanpa henti hingga bu Ida menatap iba.

Pundakku dicengkram sangat erat, “Nak, tenang! Jangan biarkan jiwamu dikuasai emosi!” Bu Ida setengah berteriak menenangkan. Setelah keadaan mereda, bu Ida mengajakku untuk pulang.

Sesampainya di gang kecil menuju rumahku, mobil diparkirkan. Kami melanjutkannya dengan berjalan kaki. Anehnya didepan gang ada bendera kuning tertancap di atas kandang ayam. Perasaanku mulai memburuk. Aku segera berlari.

Benar saja, rumahku tampak sesak. Dari kejauhan, terlihat nenek merangkul Sofia menangis di hadapan sosok yang tertutup kain. Aku terdiam. Tubuhku seakan beku. Kakiku tak tau harus melangkah kemana. Bersama bu Ida, aku memasuki rumah. Orang-orang menatapku dengan pilu.

“Ibuuu. Ibu kenapa? Ibuuu.” Aku menangis tersedu-sedu. Ditambah Sofia menjerit meski suaranya telah parau.

“Sudahlah..Ikhlaskan ibumu,” titah nenek menenangkan kami. “Ibumu orang baik. Tuhan sangat menyayanginya.” Suasana semakin mengharu biru. Tangisan terdengar dari setiap penjuru rumah.“Memang inilah cara Tuhan.Ibumu dipanggil secepat ini.” Nenek terlihat tegar, meskipun kutau dia juga sangat sedih karena telah kehilangan anaknya.

Tangisanku kian menjadi-jadi.

“Naura,sudahlah, nak. Ibu tau kamu mampu tegar. Lihat adikmu, dia yang belum mengerti apa-apa pun ikut menangis melihat kesedihanmu.”

Kulirik Sofia dengan mata berkaca-kaca. Baru kusadari, bukan aku saja yang harus menderita tanpa ibu. Tapi juga Sofia.Dengan cepat kugapai tubuhnya, langsung kudekap hangat.

Semua yang hadir tak kuasa menopang beban kesedihan kala itu. Namun diantara riuhnya suara tangisan, terdengar bisikan halus akan keburukan bapakku selama ini. Bapakku penyabung ayam. Ya, memang benar. Bapakku seorang penjudi. Ya, aku tau itu. Bapakku seorang pembunuh. Apa maksudnya ini?

Akhirnya ibuku dimandikan, aku turut menyiraminya. Ibu diusung menuju masjid untuk disholatkan, aku berada di barisan depan. Tangisanku bergema di sepanjang jalan menuju pemakaman. Aku menyaksikan ibu kembali ditelan tanah. Seketika tubuhku rebah diatas pusara ibu.

(Zikra/MTs DMP Diniyyah Puteri)

“Adek.” Begitulah ejekan yang sering kudengar. Hari-hariku penuh dengan rasa kesal, apalagi dengan teman-temanku. Setiap hari mereka selalu mengejekku, di sekolah maupun di asrama. Kesal, kesal, kesal! Hanya karena badanku lebih pendek mereka begitu. Benci rasanya! Memang, kami baru punya adik kelas karena baru naik kelas 8. Banyak adik kelas yang bertubuh lebih tinggi dariku.

“Hei, adek! Kamu harusnya disana,” kata Diana sambil menunjuk salah satu kelas 7.

“Diana, aku gak suka dipanggil begitu,”kataku kesal.

“Ya, kamu itu kayak adek-adek,” jawabnya lalu mencubit pipiku.

Selain mereka mengejekku ‘adek’, mereka juga suka mencubit pipiku. Kata mereka, pipiku tembam, jadi bikin gemas. Sudah dibilangin berkali-kali, masih saja mereka mencubit pipiku. Bikin kesal! Kadang mereka bukan menyebutku ‘adek’ tapi ‘watasi’ alias ‘wajah tanpa ekspresi’. Menurut mereka, aku ini tak punya ekspresi. Memangnya aku gak punya ekspresi selalu? Tidak mungkin, kan?

Setelah cemberut gara-gara Diana, aku kembali ke kelas dan duduk di bangkuku dengan penuh kesal.

“Hei!” tegur Liya yang lewat depan mejaku. Aku hanya diam dengan cemberut.

“Ya, Allah! Watasi kali kamu,” katanya lalu pergi.

Kesal! Di asrama pun mereka juga begitu. Saat di depan asramaku, ada Anis menghampiriku.

“Dek, ngapain kesini? Mau cari kakak siapa?” tanyanya.

“Anis, aku gak suka dibilang gitu,” kataku mulai emosi.

“Makanya, kamu itu besar sedikit,”jawabnya cuek.

Karena aku makin emosi, aku langsung masuk asrama dan berbaring di kasurku sambil memendam rasa kesalku hari ini. Sudah dua kali dipanggil ‘adek’, dicubit pipiku, dan dibilang ‘watasi’ pula. Kesal, kesal, kesal banget! Aku tahu mereka bercanda, tapi hal itu membuatku tersinggung. Mereka tahu aku tidak suka dan aku agak emosional. Tapi, mereka masih saja begitu. Ugh! Kapan mereka mau berubah?

“Kamu kenapa, Rik? Diejek lagi?” tanya Akira, teman asramaku.

“Iya, sudah kubilang gak, tapi mereka masih begitu,” jawabku sambil menyembunyikan muka kesalku di balik bantal.

“Sabar, ya!” katanya.

“Ih, kamu tahu aku ini emosional, kan? Susah rasanya!” kataku.

“Gimana kalau kamu ke tempat konseling di asrama? Kamu itu agak tertutup orangnya, sekali-sekali lebih terbuka dong,” usulnya.

Benar juga rasanya kalau pergi ke tempat konseling. Aku ini sedikit tertutup. Jika ada masalah, kupendam atau diceritakan ke orang tertentu.

“Baiklah, tapi besok.”

“Kenapa?”

“Ya, kamu tahu masih sedikit emosi. Lama redanya.”

Akira hanya menggelengkan kepalanya.

Besoknya, aku mencoba pergi ke tempat koseling. Aku mengetuk pintu.

“Assalamu ‘alaikum.

“Wa‘alaikumussalam, silahkan masuk!”jawab orang yang ada di dalam.

Aku masuk dan di dalam sudah ada Umi Syidah.

“Kenapa, Rika? Ada masalah?” tanya beliau.

“Iya, Umi. Belakangan ini aku suka dibilangin adek sama teman-teman. Gak hanya itu, Umi. Mereka suka bilangin aku watasi atau wajah tanpa ekspresi dan sering mencubit pipiku. Sudah kubilang aku gak suka, tapi mereka masih melakukannya.” keluhku.

“Rika tanggapi mereka, gak?”

“Iya, Umi,”

“Nah, disitu letaknya. Jadi, kalau ada yang melakukan hal itu pada Rika, jangan dilawan. Kalau dilawan, mereka akan terus mengganggu Rika. Umi tahu Rika agak emosional dan kurang sabar, Tapi, Rika harus mencoba untuk sabar. Mereka akan bosan kalau tidak ditanggapi,” jelas beliau.

“Tapi susah, Umi”

“Susah bukan berarti tidak bisa, kan?”

Aku sempat terdiam.Benar juga apa yang dibilang Umi. Mestinya aku lebih sabar seperti dibilang Akira. Aku sempat berpikir untuk mencoba. Apa salahnya mencoba, bukan? Mungkin cara ini berhasil.

“Baiklah, terima kasih Umi. Rika balik dulu, ya.” Aku pamit dan salam kepada Umi Syidah.

“Iya, sama-sama.”

“Assalamu‘alaikum, Umi!”

“Wa‘alaikumussalam!”

Aku segera kembali ke asrama.

Besoknya, aku mencoba apa yang dikatakan Umi Syidah. Saat jam istiharat, Diana kembali mengejekku.

“Dek, mau kemana?” tanyanya.

Ingin marah rasanya, tapi aku tahan. Aku segera pergi darinya. Diana heran mengapa aku begitu. Di kelas, Liya juga memanggilku.

“Hei, watasi!” tegurnya.

Aku pura-pura tidak dengar lalu melanjutkan aktivitas yang lain. Seperti halnya Diana, Liya heran juga.

Di asrama Anis juga melakukan hal yang sama.

“Adek!” sapanya.

Aku seperti tadi, pura-pura tidak tahu.

Hal ini terus-terus begitu. Hari demi hari berlalu. Mereka yang suka mengejekku akhirnya meminta maaf. Kurasa karena mereka bosan tidak kutanggapi. Hal ini kuceritakan kepada Akira.

“Akira, akhirnya gak ada ejekan lagi,” kataku senang.

“Tu, kan? Kubilang kamu bisa untuk sabar,” jawab Akira.

“Iya. Makasih sarannya.”

“Tidak masalah, Rik!”

Hari-hari penuh kesal sudah tiada. Kini, hari-hari penuh kesenangan.

(Ainul Mardhiyah/MA KMI Diniyyah Puteri)

Kisah ini murni tentang sebuah kolam di pinggiran jalan antara perjalanan Batusangkar-Padang Panjang. Ia tak keramat tak pula punya tuah. Hanya saja, kolam tersebut kerap abak perbincangkan selama di atas kendaraan saat mengantarku dari kampung menuju sekolah pesantrenku di Padang Panjang. Awalnya, ketika Maghrib belum sepenuhnya mekar,

“Kau tengok itu, As,” kata Abak. Suaranya sedikit kencang. Mencoba mengalahkan deru kendaraan. Abak memutar kepalanya ke arah kanan seperti menunjuk.

“Yang mana, bak?” tanyaku. Saat itu, aku masih tertarik. Celingak-celinguk.

“Itu! Kolam itu!” terangnya di balik helm hitam yang dipakainya. Aku mengangguk dari balik punggung lebar pria tersebut. Menatapi kolam yang dimaksud. Lebarnya tak lebih dari 4 kali 5 meter dengan air yang sedikit keruh. Di tepiannya banyak para lelaki mengerumuni. Memegang pancingan masing-masing. Menatapi kolam. Terlihat menunggu

“Ehm. Kenapa, bak? Ada apa memangnya, bak?” serbuku lagi sembari mengeratkan pelukan di pinggang abak. Dingin sore sudah mulai menampar-nampar kulitku. Aku lupa membawa jaket kulit yang disediakan amak sebelum pergi. Abak tak langsung menjawab pertanyaanku. Beliau diam hingga beberapa menit. Aku menunggu lagi.

Setelah beberapa meter meninggalkan kolam tadi,

“Kau tengok sekumpulan orang di sana tadi?”

Aku mengangguk. Masih tak habis pikir dengan kalimat yang sedari tadi meluncur dari bibir beliau. Sebab, biasanya perjalanan ini selalu abak habiskan dengan kisah politik, pendidikan, dan agama.

“Cihh, orang bodoh semua itu!” Sambar abak dengan nada yang mengeras dan tak bersahabat.

“Erg. Kenapa, bak?” tanyaku kala itu. Masih belum sepenuhnya mengerti kemana arah pembicaraan pria yang satu ini.

“Mereka membeli ikan beramai-ramai di pasar. Menuangkannya ke kolam. Memancing balik. Tidakkah bodoh perilaku macam itu?” Nada sengit abak terdengar jelas dalam kalimatnya. Bahkan, sempat motor kami agak bergoncang sedikit. Entah karena batu, gejolak perasaan abak atau motor itu juga ikut mengekspresikan ketidaksukaan. Aku hanya geleng-geleng saja.

“Habiskan waktu.” Hanya itu yang bisa kukomentari dari pernyataan abak. Sebab, aku masih tak habis pikir dengan kenyataan yang abak berikan. Apa sebab orang itu mau.

“Daripada seperti itu, sebaiknya kasih ke amak di rumah. Ya kan, As?”sela abak di sela-sela pemikiranku. Meminta persetujuanku.

Aku mengiyakan lagi. Itu kali pertama, aku ikut-ikutan mengomentari dengan pedas. Memaki-maki. Misalnya, berdecak dan berseru betapa bodohnya mereka, berharap takkan mendapat suami macam mereka yang pengangguran dan lain sebagainya. Lalu, abak juga sedikit-sedikit menimpali ucapanku itu dengan ceramahnya dan dalil-dalil dalam al-qur’an dan buku yang sudah dibacanya.

Menginjak liburan selanjutnya, Tiap kali melewati daerah tersebut, abak selalu menggumamkan hal yang sama. Persis seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Seolah topik itu adalah air berkumur mulutnya. Juga, seakan aku sudah mengidap penyakit lupa, Alzheimer stadium parah. Namun, demi menghargainya, aku mengomentari lagi dan mengangguk-angguk. Kasihan kalau beliau harus kupotong ceritanya. Itu terus terjadi, berulang-ulang sampai aku menginjak kelas 1 SMA dan abak telah pula turun dari kursi dewannya.

***

Tubuh abak terlihat semakin kurus sejak terakhir kali aku melihatnya. Dada bidang beliau telah tergantikan dengan rusuk yang mencuat di sana sini. Mata teduh lelaki itu kini seperti tenggelam di antara kurusnya tulang pipi. Parfum tubuhnya sudah berganti menjadi aroma tanah. Lalu, kulitnya sudah keruh menghitam di beberapa tempat. Belum lagi perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada pakaian dan kehidupan beliau.

Bagaimana tidak? Pasca kekalahan beliau saat pemilu kemarin tentu telah merubah segalanya. Abak mungkin harus lebih keras lagi mengelola kebunnya yang beberapa tahun terakhir sempat terbengkalai. Mesti kerja banting tulang agar uang senantiasa mengalir. Mempertahankanku tetap bersekolah di sekolah swasta ini.

“Bagaimana kabarmu, nak?” bukanya sambil membelai-belai kain penutup kepalaku. Aku tersenyum saja. Bergelayut di lengannya. Harus kujelaskan seperti apa? Dibandingkan denganku, jelas-jelas beliaulah yang harus dikhawatirkan. Memahami makna gerakanku, beliau mengajakku menepi ke tepi bangunan asrama.

Abak, apa pula kabar abak?” tanyaku perhatian. Ia tersenyum saja.

“Seperti yang kau lihat. Tak ada yang berubah,” jawabnya getir dan mengajakku duduk di sebuah bangku yang disediakan sekolahku.

Kemudian, pertanyaanku beralih seputar nilai adik-adikku di rumah. Mengenai bakat Naya, kenakalan Fauzi ataupun kegiatan terbaru mereka. Lalu kondisi ibu yang mulai sakit-sakitan dimakan penyakit asma turunannya. Meski begitu, wanita itu tetap bersikeras melanjutkan keinginannya untuk menjadi guru TK. Dikerubungi anak-anak balita.

“Apa kerja abak sekarang?” tanyaku di akhir bincang-bincang kami. Tentu saja. Aku memang harus tahu kondisi keluargaku sekarang. Sebab, setelah tamatnya jabatan abak, pasti sudah banyak yang berganti.

“Ke kebun saja dan mulai menanam cabe, terung serta jeruk di sana,” terangnya. Memandang jalanan yang ribut dengan suara mobil para orangtua santri yang datang. Aku diam saja. Bingung harus bagaimana meningkahi kalimat beliau barusan. Memberi saran atau kalimat hiburan pun aku tak bisa. Akhirnya, hanya desahanlah tanggapanku.

“Do’akan sajalah nasib baik datang pada kita. Tak usah banyak cemas.”

“Tugasmu belajar sajalah,” tutupnya pada akhirnya. Kemudian menyelipkan beberapa helaian duit puluhan. Aku menghitung cepat dan mengantar kepergiannya hingga gerbang asrama. Menatapinya hingga hilang ditelan jalan lalu berbalik pulang.

***

Rumah tersebut masih seperti dulu. Bercat hijau meski sudah ada bercak-bercak lumpur di dinding bagian bawah bukti bahwa halaman tersebut tak pernah tersentuh oleh cat dan perbaikan. Bahkan, tanaman di depan sana sudah banyak dijalari oleh ilalang. Seakan tak terjamah oleh tangan lembut wanita ataupun kekekaran pria. Tentu saja, ini kepulanganku setelah 6 bulan di asrama.

Setelah seminggu di rumah, kusiangi semak belukar di pekarangan. Menyirami bunga-bunga yang tadinya dicekik benalu. Membersihkan bercak lumpur di dinding. Semuanya kulakukan. Namun, ada satu hal yang rasanya pelan-pelan hilang. Kekeluargaan kami sedikit renggang. Peran abak mulai hilang. Beliau sibuk pulang pergi setiap hari. Amak mengurung diri di kamar. Sedang, Fauzi dan Naya berkutat dengan televisi dan buku mereka.

Hingga, suatu sore, kudatangi amak di kamarnya. Beliau menatap kosong ke depan. Tubuhnya direngkuh kain seperti menggigil kedinginan. Kupeluk ia dan menanyakan beberapa pertanyaan seputar perubahan di sana. Ia diam saja sembari menunjuk alat pancingan yang disenderkan di celah-celah lemari. Katanya

Abakmu kini kerajingan memancing.”

(Naila Husnaini/MA KMI Diniyyah Puteri)

Malam ini langit gelap gulita, awan hitam menggelayut menutup bintang-bintang yang seharusnya menemaninya. Sesekali terdengar bunyi guruh dan langit pun menyambarkan kilatan-kilatan terang, membuat gelapnya malam menjadi sangat mencekam.

Di dalam rumah, aku duduk bersila dengan dengan kitab lusuh peninggalan bapak, Teringat olehku bagaimana dulu aku mencoba melantunkan ayat-ayat suci dengan irama yang mak ajarkan. Terkadang bapak pun ikut mengocehkan tajwidku yang salah, entah dengungku yang kurang jelas, Qalqalahku yang kurang tebal atau sebagainya. Dan malam itu adalah malam-malam yang penuh dengan keramaian.

Akan tetapi malam ini berbeda, setiap membaca ayat suci, sepi tetap saja menghampiri rumah ini. Tak ada lagi yang mendengarkanku mengaji, tak ada lagi bapak yang menegur bacaanku yang salah, tak ada lagi mamak yang mengajariku irama membaca Qur’an. Semua hening, hanya dengkuran halus nenek saja yang terdengar dari bilik sebelah.

Rindu merasukiku sesaat. Bapak dan Mak pergi mendahului kami saat galodo besar menimpa kampung. Sesal ini selalu datang terlambat. Harusnya tak kubiarkan mereka pergi ke ladang hari itu. Namun kesedihan ini tak kubiarkan larut, sebab aku masih memiliki nenek yang tegar dengan ujian ini dan menyayangiku sepenuhnya. Rasa tanggung jawabku tak terelakkan. Aku ingin membahagiakannya sampai tiba masanya nanti.

Setelah lelah memikirkan ini dan itu, aku kemudian merebahkan diri di atas kasur yang tak ada berdipan. Menarik selimut yang tak lain hanya sepotong kain panjang. Mataku yang terpejam masih saja bergerak-gerak pertanda aku masih terjaga.Aku memang masih terjaga, malah otakku bekerja lebih ekstra dari biasanya, Semampuku kuusir pikiran itu dan akhirnya berlabuh di tepian mimpi.

                                                         ***

“Kau anak pintar,Farid. Sayang sekali jika kau tak melanjutkan sekolahmu,” ucap pak Umar yang terkenal kaya di kampungku, Pandai Sikek. Ia juga terkenal dengan kedermawanannya dan memiliki tempat pusat ukiran dimana aku bekeja setelah pulang sekolah.

Sudah lama sekali pak Umar bergelut dengan dunia ukiran. Sejak kecil, ia sudah mulai belajar mengukir kayu, meski kakinya sedikit pincang, namun tangannya tetap semangat meliuk-liuk dengan indah di atas kayu-kayu yang akan dibuat menjadi bermacam-macam bentuk. “Bagi saya mengukir seperti ini, seakan kita bisa menciptakan sendiri relief-relief kehidupan. semoga saja ukiran kita ini dapat terus berkembang” ujar pak Umar suatu hari padaku.

Pak Umar menawarkanku untuk melanjutkan sekolah ke kota. Bosku yang satu itu sangat baik hati. Sebenarnya, siapa pula yang tidak ingin melanjutkan sekolah ke kota, gratis pula. Tawaran itu tentu saja sangat menggiurkan, setelah melihat bagaimana keadaan sekolahku waktu SMP yang sangat tidak memadai dan apa adanya.

Sekolah ke kota memang salah satu impianku, tapi masalah yang sedang aku hadapisekarang tidak akan membuatku melangkahkan kaki, walau hanya satu langkah saja dari kampung ini.Aku sangat menyayangi nenekku. Itulah alasan yang pertama, dan aku tidak mungkin meninggalkannya apalagi dalam keadaannya yang semakin memburuk. Kemarin setelah pulang bekerja dari sawah ia pingsan di mushala yang ada di sana.Untung saja mak Ujang kebetulan lewat dan memberitahuku.Aku ditemani mak Ujang langsung lari tunggang-langgang menuju sawah, Kami harus sampai sebelum Maghrib tiba karena setelah itu tak akan ada cahaya yang tersisa di persawahan itu.Hari ini aku tidak memperbolehkannya untuk pergi ke sawah. Keadaannya masih kurang sehat, meski dengan terpaksa akhirnya nenek mau istirahat di kamarnya.

Ketika kemudian malam semakin menaik dan meninggalkan basah di halaman yang akan menjadi semakin lebat besok karena isakan tertahan.

***

Aku hanya bisa terduduk di depankasur yang berada di tengah-tengah rumahku. Orang-orang berada disekitarku mengaji melantunkan surat Yasin dengan suara pilu menatapku iba.

Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan air mata. Sosok yang berada di depanku kini hanya diam membeku.Sekujur tubuhnya dingin.Aku menggenggam erat tangan nenek, lalu tertidur disebelahnya.

Setiap hari pak Umar datang menanyai kabarku.Aku hanya bisa mengangguk karena memang bukan itu yang sebenarnya sedang aku rasakan. Seluruh tubuhku terasa remuk, badanku bahkan nyaris tak bisa digerakkan.

Kehilangan sosok seorang nenek bagiku menjadi tekanan yang sangat berat. Aku merasa kehilangan orang tua, saudara dan karib kerabat sekaligus, karena neneklah yang selama ini merawatku dan selalu berada di sampingku.

Melihat keadaanku yang begitu menyedihkan, pak Umar segera saja mengambil tindakan.Ia kembali menawarkanku untuk sekolah dikota.Ia berjanji akan membayar semua kebutuhanku. Laki-laki paruh baya itu selalu beralasan bahwa tak ada lagi yang perlu aku pertimbangkan. Setelah beberapa hari menenangkan diri, otakku kembali dapat berpikir dengan jernih.Sekarang aku sendiri, tak ada lagi yang bisa merawatku dan tak ada lagi yang perlu aku cemaskan.Namun aku tidak ingin hidup dalam belas kasihan orang lain. Sebab nenek selalu mengajarkanku untuk tidak berhutang budi kepada orang lain.

Setelah mengutarakan perasaanku pada pak Umar, beliau lalu memberi solusi, selama aku sekolah di kota nanti,aku akan terus mengukir dan hasilnya akan diberikan kepada pak Umar sebagai ganti rugi tanggungan hidupku. Pertimbangaku panjang, aku hanya tak ingin gegabah, salah-salah malah merepotkan.

Keinginanaku untuk terus menuntut ilmu tak dapat disangkal, meski aku tau itu hanya merugikan pak Umar. Namun, aku akhirnya mengambil keputusan untuk bersekolah ke kota dan berjanji akan belajar dengan giat dan menebusnya di kemudian hari. Laki- laki paruh baya itu sangat senang mendengar keinginanku dan mempersiapkan segala sesuatunya untukku, mulai dari sekolah, seragam dan lain sebagainya. Hanya saja aku penasaran bagaimana mungkin Pak Umar mau menyelamatkan seorang anak yang notabene hanyalah seorang karyawannya.

Ketika aku menanyakan hal itu Pak Umar berkata “Apa kita butuh alasan untuk membantu orang, Farid? Kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri,” ujar lelaki itu, senyumnya tak menyiratkan beban. Lelaki itu memang sudah mengajarkanku banyak hal dan aku tau aku harus membalas budinya di kemudian hari.

***

Sekarang batang-batang pohon kecil sudah tumbuh besar. Ia bahkan lebih kokoh untuk sekedar menjadi sebatang pohon.Begitu juga denganku, aku sudah menjadi pemuda kokoh yang dapat menentukan arah hidupku dengan sempurna.

Aku mulai menyusuri jalan setapak menuju kampungku.Tujuan pertamaku tentu saja makam nenek.Aku duduk disebelah kuburan nenek dan membacakan do’a, kemudian bercerita tentang kisah perjalanan hidupku.

Siang semakin terik saat aku beranjak dari kuburan nenek.Tujuanku selanjutnya adalah rumah pak Umar orang yang sudah banyak membantuku menjalani kehidupanku.Bukan lagi membantu tapi menyelamatkan hidupku. Aku akan mengucapkan terima kasih dan berniat untuk membayar hutangku dengan menjadi distributor untuk ukirannya. Aku tahu semua itu belum cukup untuk membayar semua kebaikan pak Umar, namun aku berjanji akan melakukan apa saja yang bisa kulakukan demi pak Umar

Namun ketika sampai di rumah pak Umar, yang kulihat adalah kesunyian. Biasanya di depan rumah pak Umar selalu ramai oleh pemuda-pemuda yang mengukir kayu namun sekarang hanya ada seonggok kayu bakar yang bertumpuk di sana. Aku mencoba mengetuk pintu rumah pak Umar, kemudian dibuka oleh seorang gadis muda yang ternyata adalah anaknya. Dia mengatakan bahwa bapaknya meninggal lima bulan yang lalu.

Aku kembali terpuruk orang yang selama ini menghidupiku kini juga sudah tidak ada lagi di sisiku. Aku bersedih bukan karena tak ada lagi yang bisa menjamin kehidupanku, bukan! Seluruh uang hasil kerjaku bahkan sudah cukup untuk menghidupiku.Aku bersedih karena aku bahkan tak sanggup membayar hutang budiku sebelum pak Umar pergi.Aku bersedih atas keterlambatanku, apa yang harus aku lakukan?

***

Aku berusaha untuk kembali menghidupkan tempat ukiran pak Umar.Awalnya memang sulit karena anak-anak muda zaman sekarang lebih tertarik dengan HPatau WARNET dan sejenisnya. Bujukan dan rayuan terus saja terlontar dari mulut ini. Perkumpulan kecil sering kali digelar. Sosialisasi yang dihadiri oleh pemuka adat, niniak-mamak, alim ulama, cadiak-pandai dan handai taulan di kantor Wali nagari sudah kulakukan beberapa kali. Karena aku tahu pemuda-pemuda ini harus didorong sepenuhnya dari segala arah, baik dari dalam keluarga maupun lingkungan. Setidaknya itulah yang dapat kuabdikan sebagai anak nagari dari gelar S1 yang baru kudapat di Malang.

Kini Pandai Sikek seperti mendapat semangat baru. Ukiran sudah menjadi keterampilan wajib di SD, SLTP dan SLTA. Senyuman puas tak hentinya kuberikan kepada siapa saja yang kutemui di jalanan desa. Akhirnya mereka sadar bahwa salah satu kebudayaan mereka harus tetap dilestarikan. Pak Umar, ukiranmu kembali hidup, batinku.

Kini aku berdiri di depan makam pak Umar.Angin sore menyibak anak-anak rambutku.Aku datang karena aku baru saja belajar satu hal yaitu jangan biarkan kita terpenjara oleh hutang budi. Namun, bila ada yang berbuat baik, maka berusahalah sekuat tenaga untuk membalas kebaikannya.Terima kasih pak Umar.