(Ainul Mardhiyah/MA KMI Diniyyah Puteri)

Kisah ini murni tentang sebuah kolam di pinggiran jalan antara perjalanan Batusangkar-Padang Panjang. Ia tak keramat tak pula punya tuah. Hanya saja, kolam tersebut kerap abak perbincangkan selama di atas kendaraan saat mengantarku dari kampung menuju sekolah pesantrenku di Padang Panjang. Awalnya, ketika Maghrib belum sepenuhnya mekar,

“Kau tengok itu, As,” kata Abak. Suaranya sedikit kencang. Mencoba mengalahkan deru kendaraan. Abak memutar kepalanya ke arah kanan seperti menunjuk.

“Yang mana, bak?” tanyaku. Saat itu, aku masih tertarik. Celingak-celinguk.

“Itu! Kolam itu!” terangnya di balik helm hitam yang dipakainya. Aku mengangguk dari balik punggung lebar pria tersebut. Menatapi kolam yang dimaksud. Lebarnya tak lebih dari 4 kali 5 meter dengan air yang sedikit keruh. Di tepiannya banyak para lelaki mengerumuni. Memegang pancingan masing-masing. Menatapi kolam. Terlihat menunggu

“Ehm. Kenapa, bak? Ada apa memangnya, bak?” serbuku lagi sembari mengeratkan pelukan di pinggang abak. Dingin sore sudah mulai menampar-nampar kulitku. Aku lupa membawa jaket kulit yang disediakan amak sebelum pergi. Abak tak langsung menjawab pertanyaanku. Beliau diam hingga beberapa menit. Aku menunggu lagi.

Setelah beberapa meter meninggalkan kolam tadi,

“Kau tengok sekumpulan orang di sana tadi?”

Aku mengangguk. Masih tak habis pikir dengan kalimat yang sedari tadi meluncur dari bibir beliau. Sebab, biasanya perjalanan ini selalu abak habiskan dengan kisah politik, pendidikan, dan agama.

“Cihh, orang bodoh semua itu!” Sambar abak dengan nada yang mengeras dan tak bersahabat.

“Erg. Kenapa, bak?” tanyaku kala itu. Masih belum sepenuhnya mengerti kemana arah pembicaraan pria yang satu ini.

“Mereka membeli ikan beramai-ramai di pasar. Menuangkannya ke kolam. Memancing balik. Tidakkah bodoh perilaku macam itu?” Nada sengit abak terdengar jelas dalam kalimatnya. Bahkan, sempat motor kami agak bergoncang sedikit. Entah karena batu, gejolak perasaan abak atau motor itu juga ikut mengekspresikan ketidaksukaan. Aku hanya geleng-geleng saja.

“Habiskan waktu.” Hanya itu yang bisa kukomentari dari pernyataan abak. Sebab, aku masih tak habis pikir dengan kenyataan yang abak berikan. Apa sebab orang itu mau.

“Daripada seperti itu, sebaiknya kasih ke amak di rumah. Ya kan, As?”sela abak di sela-sela pemikiranku. Meminta persetujuanku.

Aku mengiyakan lagi. Itu kali pertama, aku ikut-ikutan mengomentari dengan pedas. Memaki-maki. Misalnya, berdecak dan berseru betapa bodohnya mereka, berharap takkan mendapat suami macam mereka yang pengangguran dan lain sebagainya. Lalu, abak juga sedikit-sedikit menimpali ucapanku itu dengan ceramahnya dan dalil-dalil dalam al-qur’an dan buku yang sudah dibacanya.

Menginjak liburan selanjutnya, Tiap kali melewati daerah tersebut, abak selalu menggumamkan hal yang sama. Persis seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Seolah topik itu adalah air berkumur mulutnya. Juga, seakan aku sudah mengidap penyakit lupa, Alzheimer stadium parah. Namun, demi menghargainya, aku mengomentari lagi dan mengangguk-angguk. Kasihan kalau beliau harus kupotong ceritanya. Itu terus terjadi, berulang-ulang sampai aku menginjak kelas 1 SMA dan abak telah pula turun dari kursi dewannya.

***

Tubuh abak terlihat semakin kurus sejak terakhir kali aku melihatnya. Dada bidang beliau telah tergantikan dengan rusuk yang mencuat di sana sini. Mata teduh lelaki itu kini seperti tenggelam di antara kurusnya tulang pipi. Parfum tubuhnya sudah berganti menjadi aroma tanah. Lalu, kulitnya sudah keruh menghitam di beberapa tempat. Belum lagi perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada pakaian dan kehidupan beliau.

Bagaimana tidak? Pasca kekalahan beliau saat pemilu kemarin tentu telah merubah segalanya. Abak mungkin harus lebih keras lagi mengelola kebunnya yang beberapa tahun terakhir sempat terbengkalai. Mesti kerja banting tulang agar uang senantiasa mengalir. Mempertahankanku tetap bersekolah di sekolah swasta ini.

“Bagaimana kabarmu, nak?” bukanya sambil membelai-belai kain penutup kepalaku. Aku tersenyum saja. Bergelayut di lengannya. Harus kujelaskan seperti apa? Dibandingkan denganku, jelas-jelas beliaulah yang harus dikhawatirkan. Memahami makna gerakanku, beliau mengajakku menepi ke tepi bangunan asrama.

Abak, apa pula kabar abak?” tanyaku perhatian. Ia tersenyum saja.

“Seperti yang kau lihat. Tak ada yang berubah,” jawabnya getir dan mengajakku duduk di sebuah bangku yang disediakan sekolahku.

Kemudian, pertanyaanku beralih seputar nilai adik-adikku di rumah. Mengenai bakat Naya, kenakalan Fauzi ataupun kegiatan terbaru mereka. Lalu kondisi ibu yang mulai sakit-sakitan dimakan penyakit asma turunannya. Meski begitu, wanita itu tetap bersikeras melanjutkan keinginannya untuk menjadi guru TK. Dikerubungi anak-anak balita.

“Apa kerja abak sekarang?” tanyaku di akhir bincang-bincang kami. Tentu saja. Aku memang harus tahu kondisi keluargaku sekarang. Sebab, setelah tamatnya jabatan abak, pasti sudah banyak yang berganti.

“Ke kebun saja dan mulai menanam cabe, terung serta jeruk di sana,” terangnya. Memandang jalanan yang ribut dengan suara mobil para orangtua santri yang datang. Aku diam saja. Bingung harus bagaimana meningkahi kalimat beliau barusan. Memberi saran atau kalimat hiburan pun aku tak bisa. Akhirnya, hanya desahanlah tanggapanku.

“Do’akan sajalah nasib baik datang pada kita. Tak usah banyak cemas.”

“Tugasmu belajar sajalah,” tutupnya pada akhirnya. Kemudian menyelipkan beberapa helaian duit puluhan. Aku menghitung cepat dan mengantar kepergiannya hingga gerbang asrama. Menatapinya hingga hilang ditelan jalan lalu berbalik pulang.

***

Rumah tersebut masih seperti dulu. Bercat hijau meski sudah ada bercak-bercak lumpur di dinding bagian bawah bukti bahwa halaman tersebut tak pernah tersentuh oleh cat dan perbaikan. Bahkan, tanaman di depan sana sudah banyak dijalari oleh ilalang. Seakan tak terjamah oleh tangan lembut wanita ataupun kekekaran pria. Tentu saja, ini kepulanganku setelah 6 bulan di asrama.

Setelah seminggu di rumah, kusiangi semak belukar di pekarangan. Menyirami bunga-bunga yang tadinya dicekik benalu. Membersihkan bercak lumpur di dinding. Semuanya kulakukan. Namun, ada satu hal yang rasanya pelan-pelan hilang. Kekeluargaan kami sedikit renggang. Peran abak mulai hilang. Beliau sibuk pulang pergi setiap hari. Amak mengurung diri di kamar. Sedang, Fauzi dan Naya berkutat dengan televisi dan buku mereka.

Hingga, suatu sore, kudatangi amak di kamarnya. Beliau menatap kosong ke depan. Tubuhnya direngkuh kain seperti menggigil kedinginan. Kupeluk ia dan menanyakan beberapa pertanyaan seputar perubahan di sana. Ia diam saja sembari menunjuk alat pancingan yang disenderkan di celah-celah lemari. Katanya

Abakmu kini kerajingan memancing.”