(Naila Husnaini/MA KMI Diniyyah Puteri)

Malam ini langit gelap gulita, awan hitam menggelayut menutup bintang-bintang yang seharusnya menemaninya. Sesekali terdengar bunyi guruh dan langit pun menyambarkan kilatan-kilatan terang, membuat gelapnya malam menjadi sangat mencekam.

Di dalam rumah, aku duduk bersila dengan dengan kitab lusuh peninggalan bapak, Teringat olehku bagaimana dulu aku mencoba melantunkan ayat-ayat suci dengan irama yang mak ajarkan. Terkadang bapak pun ikut mengocehkan tajwidku yang salah, entah dengungku yang kurang jelas, Qalqalahku yang kurang tebal atau sebagainya. Dan malam itu adalah malam-malam yang penuh dengan keramaian.

Akan tetapi malam ini berbeda, setiap membaca ayat suci, sepi tetap saja menghampiri rumah ini. Tak ada lagi yang mendengarkanku mengaji, tak ada lagi bapak yang menegur bacaanku yang salah, tak ada lagi mamak yang mengajariku irama membaca Qur’an. Semua hening, hanya dengkuran halus nenek saja yang terdengar dari bilik sebelah.

Rindu merasukiku sesaat. Bapak dan Mak pergi mendahului kami saat galodo besar menimpa kampung. Sesal ini selalu datang terlambat. Harusnya tak kubiarkan mereka pergi ke ladang hari itu. Namun kesedihan ini tak kubiarkan larut, sebab aku masih memiliki nenek yang tegar dengan ujian ini dan menyayangiku sepenuhnya. Rasa tanggung jawabku tak terelakkan. Aku ingin membahagiakannya sampai tiba masanya nanti.

Setelah lelah memikirkan ini dan itu, aku kemudian merebahkan diri di atas kasur yang tak ada berdipan. Menarik selimut yang tak lain hanya sepotong kain panjang. Mataku yang terpejam masih saja bergerak-gerak pertanda aku masih terjaga.Aku memang masih terjaga, malah otakku bekerja lebih ekstra dari biasanya, Semampuku kuusir pikiran itu dan akhirnya berlabuh di tepian mimpi.

                                                         ***

“Kau anak pintar,Farid. Sayang sekali jika kau tak melanjutkan sekolahmu,” ucap pak Umar yang terkenal kaya di kampungku, Pandai Sikek. Ia juga terkenal dengan kedermawanannya dan memiliki tempat pusat ukiran dimana aku bekeja setelah pulang sekolah.

Sudah lama sekali pak Umar bergelut dengan dunia ukiran. Sejak kecil, ia sudah mulai belajar mengukir kayu, meski kakinya sedikit pincang, namun tangannya tetap semangat meliuk-liuk dengan indah di atas kayu-kayu yang akan dibuat menjadi bermacam-macam bentuk. “Bagi saya mengukir seperti ini, seakan kita bisa menciptakan sendiri relief-relief kehidupan. semoga saja ukiran kita ini dapat terus berkembang” ujar pak Umar suatu hari padaku.

Pak Umar menawarkanku untuk melanjutkan sekolah ke kota. Bosku yang satu itu sangat baik hati. Sebenarnya, siapa pula yang tidak ingin melanjutkan sekolah ke kota, gratis pula. Tawaran itu tentu saja sangat menggiurkan, setelah melihat bagaimana keadaan sekolahku waktu SMP yang sangat tidak memadai dan apa adanya.

Sekolah ke kota memang salah satu impianku, tapi masalah yang sedang aku hadapisekarang tidak akan membuatku melangkahkan kaki, walau hanya satu langkah saja dari kampung ini.Aku sangat menyayangi nenekku. Itulah alasan yang pertama, dan aku tidak mungkin meninggalkannya apalagi dalam keadaannya yang semakin memburuk. Kemarin setelah pulang bekerja dari sawah ia pingsan di mushala yang ada di sana.Untung saja mak Ujang kebetulan lewat dan memberitahuku.Aku ditemani mak Ujang langsung lari tunggang-langgang menuju sawah, Kami harus sampai sebelum Maghrib tiba karena setelah itu tak akan ada cahaya yang tersisa di persawahan itu.Hari ini aku tidak memperbolehkannya untuk pergi ke sawah. Keadaannya masih kurang sehat, meski dengan terpaksa akhirnya nenek mau istirahat di kamarnya.

Ketika kemudian malam semakin menaik dan meninggalkan basah di halaman yang akan menjadi semakin lebat besok karena isakan tertahan.

***

Aku hanya bisa terduduk di depankasur yang berada di tengah-tengah rumahku. Orang-orang berada disekitarku mengaji melantunkan surat Yasin dengan suara pilu menatapku iba.

Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan air mata. Sosok yang berada di depanku kini hanya diam membeku.Sekujur tubuhnya dingin.Aku menggenggam erat tangan nenek, lalu tertidur disebelahnya.

Setiap hari pak Umar datang menanyai kabarku.Aku hanya bisa mengangguk karena memang bukan itu yang sebenarnya sedang aku rasakan. Seluruh tubuhku terasa remuk, badanku bahkan nyaris tak bisa digerakkan.

Kehilangan sosok seorang nenek bagiku menjadi tekanan yang sangat berat. Aku merasa kehilangan orang tua, saudara dan karib kerabat sekaligus, karena neneklah yang selama ini merawatku dan selalu berada di sampingku.

Melihat keadaanku yang begitu menyedihkan, pak Umar segera saja mengambil tindakan.Ia kembali menawarkanku untuk sekolah dikota.Ia berjanji akan membayar semua kebutuhanku. Laki-laki paruh baya itu selalu beralasan bahwa tak ada lagi yang perlu aku pertimbangkan. Setelah beberapa hari menenangkan diri, otakku kembali dapat berpikir dengan jernih.Sekarang aku sendiri, tak ada lagi yang bisa merawatku dan tak ada lagi yang perlu aku cemaskan.Namun aku tidak ingin hidup dalam belas kasihan orang lain. Sebab nenek selalu mengajarkanku untuk tidak berhutang budi kepada orang lain.

Setelah mengutarakan perasaanku pada pak Umar, beliau lalu memberi solusi, selama aku sekolah di kota nanti,aku akan terus mengukir dan hasilnya akan diberikan kepada pak Umar sebagai ganti rugi tanggungan hidupku. Pertimbangaku panjang, aku hanya tak ingin gegabah, salah-salah malah merepotkan.

Keinginanaku untuk terus menuntut ilmu tak dapat disangkal, meski aku tau itu hanya merugikan pak Umar. Namun, aku akhirnya mengambil keputusan untuk bersekolah ke kota dan berjanji akan belajar dengan giat dan menebusnya di kemudian hari. Laki- laki paruh baya itu sangat senang mendengar keinginanku dan mempersiapkan segala sesuatunya untukku, mulai dari sekolah, seragam dan lain sebagainya. Hanya saja aku penasaran bagaimana mungkin Pak Umar mau menyelamatkan seorang anak yang notabene hanyalah seorang karyawannya.

Ketika aku menanyakan hal itu Pak Umar berkata “Apa kita butuh alasan untuk membantu orang, Farid? Kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri,” ujar lelaki itu, senyumnya tak menyiratkan beban. Lelaki itu memang sudah mengajarkanku banyak hal dan aku tau aku harus membalas budinya di kemudian hari.

***

Sekarang batang-batang pohon kecil sudah tumbuh besar. Ia bahkan lebih kokoh untuk sekedar menjadi sebatang pohon.Begitu juga denganku, aku sudah menjadi pemuda kokoh yang dapat menentukan arah hidupku dengan sempurna.

Aku mulai menyusuri jalan setapak menuju kampungku.Tujuan pertamaku tentu saja makam nenek.Aku duduk disebelah kuburan nenek dan membacakan do’a, kemudian bercerita tentang kisah perjalanan hidupku.

Siang semakin terik saat aku beranjak dari kuburan nenek.Tujuanku selanjutnya adalah rumah pak Umar orang yang sudah banyak membantuku menjalani kehidupanku.Bukan lagi membantu tapi menyelamatkan hidupku. Aku akan mengucapkan terima kasih dan berniat untuk membayar hutangku dengan menjadi distributor untuk ukirannya. Aku tahu semua itu belum cukup untuk membayar semua kebaikan pak Umar, namun aku berjanji akan melakukan apa saja yang bisa kulakukan demi pak Umar

Namun ketika sampai di rumah pak Umar, yang kulihat adalah kesunyian. Biasanya di depan rumah pak Umar selalu ramai oleh pemuda-pemuda yang mengukir kayu namun sekarang hanya ada seonggok kayu bakar yang bertumpuk di sana. Aku mencoba mengetuk pintu rumah pak Umar, kemudian dibuka oleh seorang gadis muda yang ternyata adalah anaknya. Dia mengatakan bahwa bapaknya meninggal lima bulan yang lalu.

Aku kembali terpuruk orang yang selama ini menghidupiku kini juga sudah tidak ada lagi di sisiku. Aku bersedih bukan karena tak ada lagi yang bisa menjamin kehidupanku, bukan! Seluruh uang hasil kerjaku bahkan sudah cukup untuk menghidupiku.Aku bersedih karena aku bahkan tak sanggup membayar hutang budiku sebelum pak Umar pergi.Aku bersedih atas keterlambatanku, apa yang harus aku lakukan?

***

Aku berusaha untuk kembali menghidupkan tempat ukiran pak Umar.Awalnya memang sulit karena anak-anak muda zaman sekarang lebih tertarik dengan HPatau WARNET dan sejenisnya. Bujukan dan rayuan terus saja terlontar dari mulut ini. Perkumpulan kecil sering kali digelar. Sosialisasi yang dihadiri oleh pemuka adat, niniak-mamak, alim ulama, cadiak-pandai dan handai taulan di kantor Wali nagari sudah kulakukan beberapa kali. Karena aku tahu pemuda-pemuda ini harus didorong sepenuhnya dari segala arah, baik dari dalam keluarga maupun lingkungan. Setidaknya itulah yang dapat kuabdikan sebagai anak nagari dari gelar S1 yang baru kudapat di Malang.

Kini Pandai Sikek seperti mendapat semangat baru. Ukiran sudah menjadi keterampilan wajib di SD, SLTP dan SLTA. Senyuman puas tak hentinya kuberikan kepada siapa saja yang kutemui di jalanan desa. Akhirnya mereka sadar bahwa salah satu kebudayaan mereka harus tetap dilestarikan. Pak Umar, ukiranmu kembali hidup, batinku.

Kini aku berdiri di depan makam pak Umar.Angin sore menyibak anak-anak rambutku.Aku datang karena aku baru saja belajar satu hal yaitu jangan biarkan kita terpenjara oleh hutang budi. Namun, bila ada yang berbuat baik, maka berusahalah sekuat tenaga untuk membalas kebaikannya.Terima kasih pak Umar.