Mengapa kita bertaubat

Taubat adalah sebuah perasaan takut kepada Allah SWT yang mendorong seorang hamba untuk kembali kepada-Nya. Taubat satu kewajiban yang tidak tuntas dengan hanya dilakukan sekali saja. Ia harus dilaksanakan berulang-ulang dan terus menerus di sepanjang hidup ini.

Orang yang bertaubat, dialah orang yang takut, menyesal, dan ingin kembali. Ia menyucikan diri dari segala dosa dan maksiat, lalu kembali pada Allah SWT dengan penuh kesadaran. Ia akan berkata, 'Ya Rabbku, dosa yang kulakukan selama dua puluh tahun ini akan kuhentikan, karena cinta dan taatku pada-Mu.” Itulah taubat. Kita tinggalkan maksiat, dan kembali ke jalan-Nya.

Sebagian orang memahami taubat hanya bagi pelaku dosa besar. Mereka pun jadi malas bertaubat. Mereka mengatakan, “Untuk apa kami harus bertaubat, padahal kami tidak melakukan dosa besar. Kalau kami pendosa besar, kami tentu akan bertaubat.”

Sebuah kekeliruan jika hamba yang selalu taat pada Allah SWT menyangka tidak perlu bertaubat. Mereka menganggap taubat hanya untuk pelaku maksiat yang belum bertaubat atau kurang komitmen terhadap agama.

Taubat merupakan tugas multi tingkatan. Artinya taubat itu berlaku di semua tingkat keimanan. Ahli maksiat perlu taubat. Pelaku dosa besar perlu taubat. Pecandu dosa kecil perlu taubat. Bahkan, orang yang bertaubat pun perlu memperbaharui taubatnya. Ringkasnya, setiap orang perlu bertaubat.

Lalu mengapa kita bertaubat? Untuk memulainya, kita harus memahami kedudukan kita di hadapan Allah SWT. Harus kita sadari berapa banyak kita melanggar hak-Nya. Saat kita mulai menyadari, hati ini seakan terasa diperas. Ia seolah terbakar, hingga mulut kita pun bergumam, “Aku harus bertaubat! Aku ingin bertaubat!”

Saudaraku, kita bertaubat dari dosa besar! Mungkin kita akan mengatakan, “Aku melakukan dosa besar? Mana mungkin. Aku tidak mungkin melakukan dosa besar. Kalau aku melakukan dosa besar, seperti apa?”

Saudaraku, bukankah mengakhiri shalat itu dosa besar? Bukankah mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu-tanpa udzur- itu dosa besar? Barang siapa yang melaksanakan shalat Dzuhur di saat shalat Ashar tiba, shalat Ashar di saat Maghrib tiba, shalat Maghrib saat shalat Isya datang, atau menjalankan shalat Subuh di saat matahari menyembulkan muka, bukankah itu dosa besar?

Itu semua dosa besar. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengumpulkan antara dua shalat dengan tanpa udzur, maka ia telah mendatangi pintu dari pintu-pintu dosa besar.” (HR. At.Turmudzi dan al Hakim).

Apakah udzur itu? Jika alarm jam berdering, dan kita bertekad melaksanakan shalat Subuh, tetapi rasa kantuk menyerang hebat, hingga kita pun kembali tidur. Itu adalah udzur. Tetapi, jika selama dua puluh tahun kita tidak berkeinginan bangun untuk shalat Subuh, tidak menyetel alarm jam maupun minta dibangunkan, boleh jadi kita telah melakukan dosa besar.

Saudaraku tercinta, mengapa kita bertaubat? Kita bertaubat dari dosa besar. Bartaubat dari mencaci maki orangtua. Bukankah itu perbuatan dosa besar? Siapa pun pelakunya, ia telah berbuat dosa. Dosa besar yang menjadikan Allah SWT marah.

Apakah kita tahu, betapa kita sangat membutuhkan taubat? Kita bertaubat dari shalat yang diakhirkan, bertaubat dari mengakhiri shalat, bertaubat dari melakukan shalat Subuh setelah matahari terbit, bertaubat dari durhaka pada orangtua. Bukankah itu dosa besar? Ataukah kita menyangka itu dosa kecil? Janganlah dikira itu dosa kecil! Dan bukankah menutup pintu dengan nada marah di depan orangtua saat kita keluar rumah termasuk dosa besar?

Kita pun sering bergunjing. Padahal gunjingan terhadap saudara muslim itu seperti memakan bangkainya. Bayangkan, memakan daging saudara kita. Bagaimana jika memakan daging bapak atau ibu kita? Saudaraku, kita duduk-duduk bersama kawan, sembari memaki kedua orangtua kita. Ya, ini kadang terjadi. Padahal kata-kata itu adalah dosa besar. Apakah kita tidak menyadari, kalau kita telah melakukan dosa besar, dan kita butuh bertaubat? Sudahkah kita tahu, hidup kita ternyata telah bergelimang dosa?

Selanjutnya apa pendapat kita tentang zina? Itu dosa besar. Lalu, apa yang mendahului zina itu? Zina mata. Menonton televisi yang menyuguhkan film porno, atau menjelajahi situ-situs porno di internet. Bukankah itu pengantar zina? Rasulullah SAW bersabda, “Dan zina mata adalah melihat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Melihat adalah pengantar zina. Ia adalah gerbang awal dari berbuat zina. Benar, seseorang kadangkala tidak sampai berbuat maksiat dengan seorang wanita. Tetapi ia telah memasuki satu tahapan menuju perbuatan zina, yakni zina mata.

Sampai kini, masihkah hati kita enggan bertaubat? Tidakkah kita butuh taubat, wahai saudaraku tercinta? Berapa banyak dosa yang mengharuskan kita bertaubat? Kita harus bertaubat dari dosa besar maupun kecil. Dan setelah ini, masih ada lagi yang mengharuskan kita bertaubat.

Siapa Pencipta kita? Siapa yang bersabar dengan manusia, padahal Dia dijauhi setiap hari? Padahal Dia mencintai kita, memberi rezeki, dan tidak menghalangi rezeki kita. Bukankah itu Tuhan kita? Bukankah, kelalaian kita pada-Nya butuh taubat?

Kapan terakhir kali kita menangis karena Allah SWT? Kapan terakhir kali kita merasakan kebesaran-Nya? Kapan terakhir kali kita bersujud pada-Nya? Kadang, sebagian kita bersujud pada Allah SWT selama 60 tahun, namun tak ada satu sujud pun yang benar. Hati kita tidak khusyuk dan terpaut dengan-Nya. Kita meletakkan jidat di tanah, mengangkatnya, tetapi hati kita tidak sujud sama sekali. Sungguh. Kita memang butuh bertaubat atas kelalaian kita.