By. Zulfikri, S.Th.I, M.Hum
Dalam membangun peradaban, manusia mengaktualisasikan dirinya dengan saling berintekrasi dan bekerjasama, bahkan berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Sebagian orang sudah tidak peduli lagi dengan nilai-nilai etika dan kemanusiaan, sehingga dalam menjalankan kehendak dan kebebasan hidupnya telah lupa dengan keterbatasanya dan kelemahan dirinya. Di sisi lain, beberapa praktik agama (agama senantiasa memberkan ajaran tentang suatu kehidupan etis) yang sedianya berupaya memberikan terapi terhadapa patologi sosial, malah memberikan suatu jalan alternatif untuk menghindarkan manusia dari hal-hal yang dapat memecah belahkan umat manusia, diantara akhlak yang mahmudah yang diajarkan Rasul yaitu dengan adanya sifat pemaaf, dan kemudian aplikasikan denfan sikap bersyukur.
Al-Qur’an telah memeberikan suatu kerangka nilai dan aturan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai perbuatana yang tidak terpuji. Terkait dengan maaf, sedikit banyaknya ada beberapa ayat yang menerangkan tentang maaf tersebut, ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 37 yaitu : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah, Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 37).
Ayat itu menerangkan bahwasanya Allah Swt Maha Penerima taubat seorang manusia jika benar-benar ia bertaubat, jadi disimpulkan bahwa Allah maha penerima taubat atau bisa dikatakan dengan pemaaf, jadi sikap pemaaf ini sebenarnya telah diajarkan oleh yang menciptakan manusia yaitu Allah Swt. Dalam sehidupan sosial, manusia tidak terlepas dengan namanya berbuat salah, hal ini dari zaman dahulu hingga detik ini merupakan suatu hal yang lazim, dari itu bagaimana kita bisa menyikapinya untuk bisa berubah kearah yang lebih baik dengan mengahadirkan sifat-sifat mahmudah diantaranya sifat maaf tadi, hal ini berdampak besar bagi akhlak atau pribadi seorang muslim, selain Allah lebih besar mencurahkan Rahman dan Rahimnya kepada manusia, juga contoh kecilnya dalam kehidupan sosial masyarakat akan setidaknya dihormati dan dihargai, selain itu seperti dosa-dosa, rasa dengki, atau yang tidak baik menjadi berkurang. Dengan demikian seorang yang memilki sifat pemaaf telah menjalankan salah satu perintah-perintah kebaikan untuk menjaga kestabilitasan dalam bermasyakat yang dititahkan oleh Allah kepada Nabi, dan Nabi kepada umatnya.
Selanjutnya setelah mengaplikasikan sifat pemaaf dalam kehidupan seorang mukmin, mestinya dalam diri mukmin itu ada rasa syukur kepada Allah Swt terhadap apa yang dilakukan selama itu baik. Bersyukur mendorong kita untuk maju dengan antusias, tidak ada yang meringankan kehidupan seorang mukmin selain bersikap syukur. Bersyukur akan senantiasa menuntun kita kearah yang positif. Dalam berbagai ayat ada yang menerangkan tentang sikap bersyukur ini diantaranya dalam surat Ibrahim ayat 7 : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Q.S. Ibarahim : 7)
Dalam ayat ini Allah mengingatkan untuk senantiasa untuk bersyukur atas segala nikmat dan memberi balasan yang setimpal bagi yang mengingkarinya. Syukur berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah Swt dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Rasa syukur kita dengan yang kita miliki, akan mengundang nikmat yang lebih besar. Sebaliknya sikap negatif terhadap apa yang diberikan Allah akan berdampak buruk kepada kita, dan bisa menambah kualitas iman seorang mukmin. Juga Allah menjadikan tambahan nikmat-Nya diantara nikmat itu ialah rizki, tergantung kepada kesyukurannya, dan tambahan dariNya adalah tambahan yang tiada batas, sehingga rasa syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an dala surat Al-Iman : 145, yang artinya : ”Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur. (Q.S. Al-Imran : 145). Jika dilihat lebih luas dari sisi lain (agama), sikap memaafkan dan syukur telah diajarkan segenap orang-orang besar, baik itu muslim ataupun nonmuslim, seperti Sidharta Gautama, Mahatma Ghandi, Para Nabi dan Rasul sebelumnya.Wallahu’alam bi shawwab.
Yendri Junaidi, MA
Dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang
Tidak mudah untuk membedakan mana sikap yang muncul dari logika yang matang dan mana sikap yang lahir dari perasaan atau emosional. Seseorang bisa saja mengklaim bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang sangat logis dan didukung oleh akal sehat. Tapi ketika diminta untuk menyampaikan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ia akan berkelit dan berlindung di balik simbol-simbol atau retorika. Apalagi jika sikap yang diperjuangkan itu menyangkut agama dan kepercayaan. Dalam hal ini orang mudah terpancing perasaan dan emosi lalu mengatasnamakan perjuangannya dengan label agama atau masyarakat luas.
Kasus penolakan terhadap pembangunan RS Siloam yang dibangun oleh Lippo Group di Padang adalah salah satu contohnya. Beberapa ormas Islam dan kemasyarakatan menyatakan penolakan terhadap proyek tersebut. Alasan mereka, karena 'diduga' atau 'dikhawatirkan' ada upaya kristenisasi di baliknya. Kekhawatiran mereka lebih didasarkan kepada sosok CEO Lippo Group James T Riady yang disebut-sebut sebagai tokoh misionaris internasional. Bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa James pernah mendirikan gereja termegah di Asia Tenggara dan ikut mendanai kampanye Presiden AS Bill Clinton tahun 1992.
Kalangan aktivis muslim pun mulai mengeluarkan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits. Ayat yang paling sering diangkat dalam momen-momen seperti ini adalah surat al-Baqarah ayat 120: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha padamu sampai engkau mengikuti agama mereka." Ayat yang mulia ini ditafsirkan sebagai sebuah peringatan dari Allah swt bahwa siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani (kristen) tidak akan henti-hentinya berusaha untuk memurtadkan kaum muslimin. Oleh karena itu, apapun aktivitas yang mereka lakukan perlu dilihat dengan kacamata 'waspada' dan 'kecurigaan'.
Pertanyaannya, benarkah demikian tafsir dari ayat tersebut? Mari kita simak penjelasan dari seorang ahli tafsir kenamaan abad ini; Syekh Thahir Ibnu 'Asyur dalam kitabnya Tahrir wa Tanwir. Ia mengatakan: "Kata-kata 'sampai engkau mengikuti agama mereka' merupakan sebuah kinayah (kiasan) bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan mungkin mau mengikuti syariat Islam. Karena mereka tidak akan senang pada Nabi dan mau ikut agamanya (yaitu Islam) sampai Nabi mau ikut dan masuk ke dalam agama mereka. Dan ini berarti bahwa mereka tidak akan pernah mengikuti syariat Islam karena Nabi saw jelas tidak akan mungkin mau masuk ke dalam agama mereka. Seperti halnya mustahil bagi Nabi untuk masuk ke dalam agama mereka demikian juga mustahil mengharapkan mereka untuk senang pada Nabi dan tunduk pada Islam. Ini senada dengan firman Allah dalam ayat lain: "... dan mereka (orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan bersikap sombong) tidak akan masuk ke dalam surga sampai onta masuk ke dalam lubang jarum..." (QS. Al-A'raaf: 40). Artinya, mereka tidak akan mungkin masuk ke dalam surga sampai sesuatu yang mustahil terjadi dan itu jelas tidak mungkin.
Jadi, sebenarnya ayat ini berbicara tentang mustahilnya mengharapkan mereka suka atau ridha kepada Nabi Muhammad saw. Karena mereka tidak akan pernah suka atau ridha sampai Nabi Muhammad bersedia masuk ke dalam agama mereka, dan ini sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, mustahil juga mengharapkan mereka ridha kepada Nabi saw dan agama yang dibawanya. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt karena Nabi Muhammad sangat ingin orang-orang Yahudi dan Nasrani itu mau masuk Islam untuk menyelamatkan diri mereka dari murka Allah swt. Begitulah pribadi beliau sebagai seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt yaitu sebagai penebar rahmat untuk seluruh alam. Terkadang sifat rahmat beliau ini lebih mendominasi sehingga sering 'mengabaikan' ketegasan dan kehati-hatian.
Terlepas dari penafsiran ayat di atas, pertanyaan yang perlu dijawab dengan argumen dan bukti yang jelas adalah kenapa kita menolak pendirian RS Siloam itu? Apakah 'dugaan' atau 'kekhawatiran' bahwa RS itu akan menjadi sarana kristenisasi di ranah minang sudah cukup kuat untuk menolak proyek tersebut? Bukankah Allah swt melarang kita untuk banyak berprasangka sebagaimana dalam firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa..." (QS. Al-Hujurat: 12). Kalau ada yang mengatakan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk kalangan muslim saja dan tidak untuk kalangan non muslim berarti ia telah mencoba untuk 'memelintir' pemahaman ayat tanpa dasar yang jelas. Apalagi menurut sebuah sumber, ternyata RS Siloam yang ada di daerah lain (seperti di Makasar sebagaimana ditegaskan oleh MUI setempat) tidak ada melakukan praktek-praktek kristenisasi seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan.
Lalu apa kepentingan kita untuk menyambut baik proyek ini? Sederhana saja. Sebagaimana dijelaskan Walikota Padang, proyek ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya setelah banyak dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap pasca musibah gempa yang kerap menghantam kota Padang. Nasib ekonomi masyarakat seharusnya lebih mendapatkan prioritas untuk diperjuangkan daripada memperturutkan dugaaan-dugaan dan kekhawatiran-kekhawatiran yang sepertinya agak berlebihan.
Apakah ini berarti kita tidak peduli dengan akidah umat? Penulis yakin bahwa siapapun yang mengaku muslim meskipun dalam level awam sekalipun tidak akan senang melihat saudara-saudaranya pindah agama. Tapi pertanyaannya, kapan kekhawatiran seperti ini tepat untuk diungkapkan dan bagaimana cara mengungkapkannya? Hemat penulis, kekhawatiran akidah umat akan tergadaikan dengan proyek pembangunan RS tersebut menjadi tepat kalau tokoh-tokoh pemerintahan daerah dan masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan agama. Selanjutnya, kalaupun kekhawatiran tersebut beralasan maka cara mengungkapkannya bukan dengan penolakan terhadap kehadiran 'pihak lain', tetapi dengan memperkokoh akidah umat dari berbagai serangan dan rayuan. Bagaimanapun kuatnya arus penentangan yang dilancarkan tapi kalau benteng akidah umat memang rapuh maka selemah apapun serangan atau godaan yang datang tetap akan mampu merontokkan akidah tersebut.
Di sisi lain, penentangan tersebut mengindikasikan bahwa kita merasa tidak PD (percaya diri) dengan akidah umat kita. Kita khawatir kalau-kalau mereka menjual iman hanya dengan sebungkus obat dari RS. Ini artinya peran yang dimainkan oleh para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat dalam memperkuat akidah umat masih sangat minim. Seandainya para ulama dan tokoh masyarakat yakin bahwa akidah masyarakat sudah kuat maka apapun gerakan yang dilancarkan pihak lain tidak akan membuat mereka khawatir apalagi gentar. Menolak proyek ini tidak berarti bahwa akidah umat akan terselamatkan. Karena faktor-faktor yang membuat seseorang menjual akidahnya bukan hanya kebutuhan kepada biaya atau obat-obatan. Pertanyaan selanjutnya, mampukah kita menciptakan lapangan kerja yang sama atau malah lebih luas dari apa yang dijanjikan oleh Lippo Group? Kalau mampu berarti kita memang tidak butuh kepada mereka. Sebagaimana dalam surat terbuka Bapak Mukhtar Naim kepada Gubernur Sumbar, akan lebih baik kita mencontoh kepada negara-negara maju yang lebih memberdayakan ekonomi mikro daripada menggaet investor-investor dari luar. Tapi kalau kita belum mampu, kenapa kita menjadi penghalang untuk terbukanya peluang usaha bagi masyarakat kita sendiri hanya karena dugaan atau kekhawatiran yang sekali lagi belum terbukti?
Lebih jauh dari itu, sebenarnya penentangan ini menyiratkan ketidaksiapan kita untuk menerima orang-orang yang berbeda dengan kita. Dan ini hampir terjadi di sebagian besar komunitas masyarakat. Ketika di sebuah daerah mayoritas adalah muslim maka kehadiran non muslim secara mencolok akan dicurigai. Apalagi kehadiran mereka legal dan formal. Sebaliknya, ketika di suatu daerah mayoritasnya non muslim maka keberadaan muslim juga akan dicurigai bahkan sering ditindas dan dimusnahkan. Padahal Rasulullah saw telah mencontohkan bagaimana masyarakat Madinah di masa itu hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani. Usaha-usaha untuk menyebarkan ajaran juga dilakukan oleh beberapa tokoh Yahudi dan Nasrani terhadap komunitas muslim. Tapi apa yang Nabi saw lakukan? Beliau menghadapi mereka dengan cara yang sama dengan yang mereka lakukan. Kalau mereka mencoba menyebarkan ajarannya dengan cara damai maka Nabi mengajak mereka berdialog. Kalau mereka mengemukakan argumen-argumen, Nabi saw juga menghadapi mereka dengan argumen-argumen yang jauh lebih kuat. Dan ketika mereka sudah menggunakan cara kekerasan, disinilah kekuatan pedang akan dipertimbangkan.
Kita berharap agar gerakan dihadapi dengan gerakan juga, argumen dilawan dengan argumen dan kekerasan juga bisa dibalas dengan kekerasan. Artinya, kalaupun seandainya ada pihak-pihak non muslim yang ingin menyebarkan agamanya kepada muslim melalui usaha-usaha persuasif maka sikap yang gentle dalam hal ini adalah membentengi akidah umat Islam dan melancarkan gerakan yang sama ke dalam komunitas mereka. Karena sesungguhnya ajaran Islam jauh lebih menarik dan 'menggiurkan' untuk dianut daripada ajaran mereka. Tinggal bagaimana kaum muslimin terutama para ulamanya mampu mengemas dengan baik dan menarik ajaran-ajaran mulia di dalam Islam untuk disodorkan kepada umat manusia. Ketika kalangan non muslim ingin menyebarkan agamanya melalui propaganda-propaganda, penyebaran buku-buku, debat-debat ilmiah dan sebagainya maka seharusnya kita lebih giat lagi dalam mempropagandakan agama kita serta menyebarkan dakwah Islam secara lebih elegan melalui buku dan diskusi-diskusi ilmiah. Adapun menyikapi sebuah gerakan persuasif dengan penentangan yang sarat dengan emosi dan sikap antipati maka ini sesungguhnya mencerminkan mental yang lemah dan tidak berani untuk bertarung secara jantan.
Pertanyaan lain yang juga perlu kita renungkan adalah, bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Ketika di sebuah daerah mayoritas masyarakatnya adalah non muslim. Lalu kaum muslim yang minoritas di daerah itu berniat mendirikan sebuah proyek dengan tujuan murni bisnis. Tapi karena kecurigaan dan kekhawatiran bahwa proyek itu akan dijadikan sebagai sarana islamisasi maka non muslim yang mayoritas menolak mentah-mentah proyek tersebut. Apa kira-kira tanggapan dan respon kita sebagai muslim? Tentu kita akan membela kepentingan saudara-saudara kita sesama muslim. Dan atas nama HAM kita barangkali akan menuduh orang-orang non muslim yang mayoritas tersebut bersikap terlalu berlebihan dan tidak tolerir dengan komunitas lain yang sesungguhnya telah berbuat sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak melanggar peraturan.
Sekali lagi, kita tidak akan membiarkan akidah umat menjadi sesuatu yang mudah diperjual-belikan. Namun penyikapan kita terhadap kasus-kasus yang berbau agama seperti ini perlu didasarkan pada logika yang kuat, emosi yang stabil dan pertimbangan yang matang. Karena sebenarnya ini tidak hanya terkait dengan kasus-kasus tertentu, melainkan lebih tentang paradigma berpikir kita dan sikap mental dalam menyikapi sebuah permasalahan. Jangan sampai luapan emosi atas nama agama dan keyakinan yang tidak memiliki dasar yang kuat akan mengorbankan peluang kerja dan mencari rezeki masyarakat kita sendiri. Wallahu a'lam.
Biodata penulis:
Nama : Yendri Junaidi, MA
TTL : Batusangkar, 23 Juni 1980
Pendidikan terakhir : Master Universitas al-Azhar Kairo Mesir
Status : Ayah dari dua anak
Pekerjaan saat ini : Pembantu Ketua III STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Hp : 0823 9230 9930
(Laili Ramadani, S.Pd.I, MA/Dosen STIT Diniyyah Puteri)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S.Al-Isra’ : 70)
Setiap anak juara. Nampaknya kalimat itulah yang dapat kita maknai dari kutipan ayat al-Qur’an di atas. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang luar biasa yang Allah Swt lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk lainnya. Oleh karena itu, wajarlah kiranya kita memandang bahwa semua manusia itu sempurna dan mempunyai kelebihan masing-masing. Begitu juga hendaknya kita memandang semua siswa kita, mereka adalah hasil ciptaan Allah Swt yang luar biasa dan pasti mempunyai kelebihan masing-masing. Mereka para juara yang siap berkarya dengan kelebihan yang Allah Swt berikan kepada mereka. Namun, banyak siswa yang belum bisa menemukan kondisi terbaiknya dan belum bisa menemukan kelebihan yang telah Allah Swt karuniakan kepadanya. Untuk itu, tugas besar para pendidik adalah membantu siswa-siswanya untuk menemukan kelebihan mereka masing-masing.
Andaikan semua pendidik di negeri ini memahami kandungan ayat Alquran surat Al-Isra’ ayat 70 di atas, pastilah tidak ada di antara mereka yang putus asa dalam mendidik. Pasti tidak ada yang mengeluarkan kata-kata kasar dan melabeli anak dengan prediket “bodoh”. Andaikan semua pejabat pemerintahan di negeri ini memahami makna ayat di atas, pasti tidak ada kastanisasi pendidikan karena semua anak juara dan berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Andai saja semua pendidik dan pejabat pemerintahan di negeri ini memahami betapa Allah swt telah memuliakan manusia dengan kelebihan yang luar biasa, pasti tidak akan ada anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan, pasti tidak ada anak yang putus sekolah atau dikeluarkan dari sekolah karena dianggap idiot.
Andaikan saja semua pendidik di negeri ini memahami maksud ayat di atas, pastilah semua guru akan bahagia mengajar karena dia yakin bahwa dia sedang membantu makhluk hasil ciptaan terbaik dan paling sempurna untuk menemukan kelebihan dan keistimewaannya. Andaikan semua masyarakat di negeri ini memahami bahwa semua orang itu spesial, pasti tidak ada cemoohan dan hinaan untuk anak-anak yang dianggap lambat dalam belajar.
Andaikan kita adalah salah satu dari mereka, saya berharap kita semua, apapun profesi kita, bisa memahami maksud ayat tersebut dan memperlakukan semua manusia dengan sempurna. Jika kita sebagai seorang guru, yakinlah dan pandanglah semua siswa kita sebagai hasil ciptaan yang sempurna yang akan menjadi para JUARA, dan calon leader masa depan.
(Zulfikri, S.Th.I., M.Hum)
Sudah menjadi suatu kewajaran dan keniscayaan mendasar bila manusia hidup secara bersosialisasi. Suatu pemikiran, mazhab, atau kelompk dapat terbentuk dengan sempurna apabila disokong oleh sekian banyak individu-individu. Bukan hanya dalam fenomena keberagamaan saja, tetapi Indonesia mencapai kemerdekaanya diperjuangkan oleh rakyat yang berasal dari individu yang majemuk dari berbagai aspek, baik itu kultur, keyakinan, dan ras. Fenomena kemajemukan ini sebenarnya menjadi persoalan penting apabila tidak diatur/manage dengan baik, bijaksana dan sesuai dengan kearifan lokal. Mengenai problem ini, diantara ayat yang menyinggung persoalan kebe-ragam-an ini terdapat dalam Q.S. al-An’am [6] 108 :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-‘An’am [6] ; 108)
- Asbab An-Nuzul
Dalam riwayat Ibn Abbas, para kafir quraisy mengadu kepada Abi Thalib untuk melarang Nabi Muhammad dan para shahabatnya supaya tidak menghina dan merendahankan Tuhan mereka. Maka setelah itu duturunkanlah QS. Al-An’am : 108.[1]
- Ma’na Global Ayat
Allah SWT. Melarang kaum muslimin untuk memaki, mencela berhala yang disembah kaum musyrikin. Hal ini dumaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu hal sebaliknya memaki-maki Allah SWT. Yang melampui batas dari orang-orang musyrikin. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah SWT. Dan sebutan-sebutan yang seharusnya diucapakan untuk-Nya. Maka bisa terjadi mereka memakin Allah dengan kata yang menyebabkan kemarahan orang-orang mukmin.
Dari ayat ini, dapat diambil pengertian bahwa apabila suatu perbuatan dipergunakan untuk terwujudnya perbuatan lain yang bersifat maksiat, maka seharusnya ditinggalkan, dan segala perbuatan yang mengakibatkan akibat buruk maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini juga memberikan isyarat adanya larangan bai kaum muslimin bahawa tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan orang kafir semakin menjauhi kebenaran.[2]
- Dari Praksis (Teks) ke Praktis (Kontekstual)
Frase pertama (wa laa tasubbu al-ladzina yad’uuna min duni Allah) merupakan sebuah frase larangan (fi’il nahi). Yakni larangan untuk memaki Tuhan-tuhan orang musyrik (berhala). Larangan disini, adalah larangan atas segala bentuk penghinaan terhadap (sistem) peribadatan dan ketuhananan dari orang-orang musyrik.[3] Kemudian pada frase kedua (fayasubbu Allaha) merupakan jawaban (larangan) dengan penjelasan bahwa hal tersebut (memaki berhala) justru akan semakin membuat orang kafir berpaling (dari kebenaran) dan semakin bertambah kekafirannya. [4]
Kemudian hal ini juga dikarenakan memaki-maki berhala sebenarnya adalah memaki benda mati. Oleh sebab itu, memakin berhala itu sebenarnya tidak dosa. Akan tetapi perbuatan tersebut menyebabkan orang-orang musyrik mereka tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan memaki-maki Allah, maka dilaranglah perbuatan tersebut.[5]
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa dalam bermasyarakat, harus ada sebuah bangunan kesadaran akan penghargaan terhadap sebuah perbedaan. Baik itu budaya, suku, ras, dan khususnya agama yang sering kali dijadikan alibi untuk melegitimasi anarkisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga pada tataran praktisnya, dapat tercipta dan menampilakm sebuah bermasyarakat yang ber-Islam secara egaliter, demokratis, dan inklusif.
Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi adanya truth claim (kebenaran pendapat) yang itu di tunggangi oleh samacam ideologi untuk menjatuhkan masyarakat muslim tertentu, atau paling tidak meminimalisir hal itu dalam bermasyarakat. Karena secara filosofis-historis dalam rekaman sejarah Islam, meniscayakan adanya konsep pluralitas agama (kendati konsep ini ada yang membolehkan dan tidak). Terlepas dari itu Rasullullah Saw telah menampilkan bagaimana cara menampilkan akhlak yang bijaksana bila bermasyarakat dengan yang tidak sekeyakinan dengan kita.
Senada dengan hal tersebut di atas, dijelaskan juga bahwa Allah Swt menjadikan setiap umat mempunyai ukuran tersendiri terhadap sebuah kebenaran, yang memang bersifat ikhtiari. Yang dapat terlahir dari sebuah kebiasaan (adat-istiadat) yang turun temurun[6], kesepakatan bersama atau dalam bahasa Cak Nur adalah Commom Platform, yakni adanya titik temu antara satu agama dengan agama lainnya.[7] Dengan kata lain adanya semangat yang sama dari masing-masing agama untuk menciptakan kondisi bermasyarakat yang harmonis, damai, rukun, dinamis tanpa kegaduhan, sejauh tidak ikut mencampuri wilayah-wilayah yang mendasar dalam agama Islam.
Pada sisi yang lain, Allah telah memberikan naluri pada diri manusia untuk menilai suatu perbuatan, apakah termasuk perbuatan baik atau buruk. Dan dengan ajaran para Rasul Saw, naluri tersebut akan lebih terarah. Sehingga dapat menilai perbuatan serta kebiasaan itu dengan penilaian yang benar.[8] Wallahu ‘alam bi shawwab
Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiah.1993.hlm 41Lihat juga. DEPAG RA, Al-Qur’an dan tafsirnya. Bandingkan dengan : K.H.Q. Shaleh. H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul (Latar belakang historis turunya Ayat-ayat al-Quran).
DEPAG RI, Al-Qur’an dan tafsirnya. Yogyakarta : UII press. Hlm 240
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-qur’an wa sab’u al-matsani. Beirut : Dar Ihya’ at-Turats. Juz VII hlm 251
Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiah.1993.hlm 41
DEPAG RI, op. cit. Hlm 242
DEPAG RI, op. cit. Hlm 242
Sukidi. op. cit. Hlm 17
DEPAG RI, op. cit. Hlm 242
(Yendri Junaidi, MA/Pembantu Ketua III STIT Diniyyah Puteri, Master Hadits Universitas al-Azhar Kairo Mesir)
Suatu hari beberapa orang sahabat yang miskin datang menemui Rasulullah saw. Mereka mengadukan sesuatu. Tapi mereka bukan sedang mengadukan kesulitan hidup, beban ekonomi yang semakin berat atau hutang yang semakin menumpuk. Mereka mengeluhkan orang-orang kaya dari kalangan sahabat juga. Apa yang mereka keluhkan? Apakah mereka dizalimi atau direndahkan oleh orang-orang kaya tersebut? Apakah ada hak-hak mereka yang lamban diberikan oleh orang-orang kaya itu? Ternyata yang mereka adukan kepada Rasulullah saw dan mereka keluhkan benar-benar berbeda dengan potret kehidupan sehari-hari yang biasa kita lihat dan dengar di masa ini. Mari kita simak riwayat berikut ini:
Abu Hurairah ra menceritakan: "Suatu hari beberapa sahabat yang fakir datang menemui Nabi saw. Mereka berkata: "Orang-orang kaya telah 'memborong' semua amal kebaikan dan derjat yang tinggi di sisi Allah swt." Rasulullah saw bertanya: "Kenapa demikian?" Mereka menjelaskan: "Orang-orang kaya itu shalat seperti kami. Mereka juga berjihad sebagaimana kami berjihad. Tapi mereka bisa bersedekah dan berinfak dari kelebihan harta yang mereka punya. Sementara kami tidak punya kelebihan harta untuk bisa seperti mereka." (HR. Bukhari nomor 6329 dan Muslim nomor 595).
Ternyata yang menjadi keluhan para sahabat yang miskin-miskin itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah uang atau hutang piutang. Yang jadi masalah ternyata adalah 'persaingan' dalam beramal. Mereka memang bisa setara dengan orang-orang kaya itu dalam sebagian besar amal saleh; shalat, puasa, jihad dan sejenisnya. Tapi orang-orang kaya itu berhasil mengungguli mereka dalam amalan-amalan yang butuh pada harta; zakat, sedekah, menyantuni orang lain dan sejenisnya. Para sahabat yang miskin ini tidak tinggal diam melihat hal tersebut. Mereka mengadukan 'kekalahan' mereka dari sahabat-sahabat yang kaya dalam perlombaan mendapatkan keridhaan Allah dan derjat yang tinggi di sisi-Nya. Sebuah persaingan dan perlombaan yang luar biasa dan sangat menyentuh.
Setelah mendengar pengaduan dari sahabat-sahabat yang miskin ini Rasulullah saw kemudian memberi tahu mereka sebuah amalan yang kalau mereka lakukan akan bisa mengejar ketertinggalan mereka dari sahabat-sahabat yang kaya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kalian aku beri tahu suatu amalan yang kalau kalian lakukan maka kalian akan dapat mengejar keunggulan orang-orang sebelum kalian dan mengungguli orang-orang yang datang sesudah kalian." Mereka menjawab: "Mau ya Rasulullah." Rasulullah saw bersabda: "Kalian bertasbih (membaca subhanallah), bertahmid (membaca alhamdulillah) dan bertakbir (membaca Allahu akbar) setiap selesai shalat masing-masing sebanyak 33 kali (dalam riwayat lain sebanyak 10 kali)."
Pulanglah para sahabat yang miskin itu dengan perasaan lega dan jiwa penuh semangat. Mereka merasa yakin mampu menyaingi amal sedekah dan infak yang selalu didominasi oleh sahabat-sahabat yang kaya. Tapi ternyata informasi dari Rasulullah tersebut sampai juga ke telinga sahabat-sahabat yang kaya. Mereka pun tak mau ketertinggalan. Mereka juga mengamalkan pesan Rasulullah itu setiap selesai shalat. Akhirnya para sahabat yang miskin kembali mengadu kepada Rasulullah saw. Mereka berkata: "Ya Rasulullah, sahabat-sahabat kami yang kaya juga mengetahui pesan yang engkau sampaikan pada kami. Akhirnya mereka pun melakukan seperti yang kami lakukan." Akhirnya Rasulullah saw bersabda: "Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki."
Orientasi pada akhirat. Itulah yang senantiasa berkecamuk dan membara dalam diri para sahabat Nabi. Mereka tidak akan pusing dan iri melihat orang lain unggul dalam harta dan posisi. Tapi mereka 'tidak terima' jika orang lain lebih unggul dalam amal saleh dan investasi akhirat. Alangkah jauh pandangan mereka. Alangkah bersih jiwa dan hati mereka. Alangkah indah hidup dalam masyarakat seperti itu. Ketika setiap orang berpikir dan merencanakan untuk kehidupan yang lebih abadi serta mengabaikan kekurangan-kekurangan yang mereka alami dalam kehidupan yang fana ini.
Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa ada seorang Arab badui datang kepada Rasulullah saw. Ia berkata: "Beritahu aku amalan yang kalau aku kerjakan maka aku akan masuk surga." Rasulullah saw bersabda: "Beribadah kepada Allah dan jangan sekutukan Dia dengan apapun, dirikan shalat-shalat yang fardhu, tunaikan zakat dan lakukan puasa di bulan Ramadhan." Arab badui itu berkomentar: "Demi Allah, aku tidak akan menambah amalan lain dari yang engkau sebutkan." Setelah ia pergi, Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya: "Kalau kalian ingin melihat seorang penduduk surga maka lihatlah orang itu." (HR. Bukhari nomor 1397).
Seorang sahabat Nabi yang terkenal; Muadz bin Jabal juga pernah bertanya kepada Nabi hal yang serupa. Ia menceritakan: "Suatu ketika aku ikut dalam sebuah perjalanan bersama Rasulullah saw. Ketika jarakku dekat dengannya, aku berkata: "Ya Rasulullah, beritahu aku amalan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka." Rasulullah saw bersabda: "Engkau telah menanyakan sesuatu yang luar biasa. Tapi ia sangat enteng dan mudah bagi orang-orang yang Allah kehendaki. Engkau mesti beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun, dirikan shalat, tunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan pergi haji." (HR. Tirmidzi nomor 2616).
Demikianlah seharusnya seorang muslim. Obsesi dan orientasinya selalu akhirat. Tak ada yang mesti dirisaukan dalam kehidupan dunia yang sementara ini selain kehilangan kesempatan memperbanyak bekal menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi. Orientasi yang selalu kepada akhirat akan tumbuh dengan menyadari hakikat kehidupan dunia yang sebenarnya. Kehidupan dunia bagi seorang muslim hanya ibarat sawah ladang untuk menanam amal saleh dan kebajikan untuk dipanen di akhirat nanti. Orang yang tidak menjadikan dunia sebagai peluang untuk memperoleh derjat yang tinggi di sisi Allah pada hari kiamat nanti berarti telah tertipu dan merugi. Mumpung masih di dunia mari jadikan obsesi dan orientasi kita selalu untuk mengejar kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak. Wallahu a'lam.