Yendri Junaidi, MA

Dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang

Tidak mudah untuk membedakan mana sikap yang muncul dari logika yang matang dan mana sikap yang lahir dari perasaan atau emosional. Seseorang bisa saja mengklaim bahwa apa yang diperjuangkannya adalah sesuatu yang sangat logis dan didukung oleh akal sehat. Tapi ketika diminta untuk menyampaikan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ia akan berkelit dan berlindung di balik simbol-simbol atau retorika. Apalagi jika sikap yang diperjuangkan itu menyangkut agama dan kepercayaan. Dalam hal ini orang mudah terpancing perasaan dan emosi lalu mengatasnamakan perjuangannya dengan label agama atau masyarakat luas.

Kasus penolakan terhadap pembangunan RS Siloam yang dibangun oleh Lippo Group di Padang adalah salah satu contohnya. Beberapa ormas Islam dan kemasyarakatan menyatakan penolakan terhadap proyek tersebut. Alasan mereka, karena 'diduga' atau 'dikhawatirkan' ada upaya kristenisasi di baliknya. Kekhawatiran mereka lebih didasarkan kepada sosok CEO Lippo Group James T Riady yang disebut-sebut sebagai tokoh misionaris internasional. Bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa James pernah mendirikan gereja termegah di Asia Tenggara dan ikut mendanai kampanye Presiden AS Bill Clinton tahun 1992.

Kalangan aktivis muslim pun mulai mengeluarkan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits. Ayat yang paling sering diangkat dalam momen-momen seperti ini adalah surat al-Baqarah ayat 120: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha padamu sampai engkau mengikuti agama mereka." Ayat yang mulia ini ditafsirkan sebagai sebuah peringatan dari Allah swt bahwa siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani (kristen) tidak akan henti-hentinya berusaha untuk memurtadkan kaum muslimin. Oleh karena itu, apapun aktivitas yang mereka lakukan perlu dilihat dengan kacamata 'waspada' dan 'kecurigaan'.

Pertanyaannya, benarkah demikian tafsir dari ayat tersebut? Mari kita simak penjelasan dari seorang ahli tafsir kenamaan abad ini; Syekh Thahir Ibnu 'Asyur dalam kitabnya Tahrir wa Tanwir. Ia mengatakan: "Kata-kata 'sampai engkau mengikuti agama mereka' merupakan sebuah kinayah (kiasan) bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan mungkin mau mengikuti syariat Islam. Karena mereka tidak akan senang pada Nabi dan mau ikut agamanya (yaitu Islam) sampai Nabi mau ikut dan masuk ke dalam agama mereka. Dan ini berarti bahwa mereka tidak akan pernah mengikuti syariat Islam karena Nabi saw jelas tidak akan mungkin mau masuk ke dalam agama mereka. Seperti halnya mustahil bagi Nabi untuk masuk ke dalam agama mereka demikian juga mustahil mengharapkan mereka untuk senang pada Nabi dan tunduk pada Islam. Ini senada dengan firman Allah dalam ayat lain: "... dan mereka (orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan bersikap sombong) tidak akan masuk ke dalam surga sampai onta masuk ke dalam lubang jarum..." (QS. Al-A'raaf: 40). Artinya, mereka tidak akan mungkin masuk ke dalam surga sampai sesuatu yang mustahil terjadi dan itu jelas tidak mungkin.

Jadi, sebenarnya ayat ini berbicara tentang mustahilnya mengharapkan mereka suka atau ridha kepada Nabi Muhammad saw. Karena mereka tidak akan pernah suka atau ridha sampai Nabi Muhammad bersedia masuk ke dalam agama mereka, dan ini sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, mustahil juga mengharapkan mereka ridha kepada Nabi saw dan agama yang dibawanya. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt karena Nabi Muhammad sangat ingin orang-orang Yahudi dan Nasrani itu mau masuk Islam untuk menyelamatkan diri mereka dari murka Allah swt. Begitulah pribadi beliau sebagai seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt yaitu sebagai penebar rahmat untuk seluruh alam. Terkadang sifat rahmat beliau ini lebih mendominasi sehingga sering 'mengabaikan' ketegasan dan kehati-hatian.

Terlepas dari penafsiran ayat di atas, pertanyaan yang perlu dijawab dengan argumen dan bukti yang jelas adalah kenapa kita menolak pendirian RS Siloam itu? Apakah 'dugaan' atau 'kekhawatiran' bahwa RS itu akan menjadi sarana kristenisasi di ranah minang sudah cukup kuat untuk menolak proyek tersebut? Bukankah Allah swt melarang kita untuk banyak berprasangka sebagaimana dalam firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa..." (QS. Al-Hujurat: 12). Kalau ada yang mengatakan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk kalangan muslim saja dan tidak untuk kalangan non muslim berarti ia telah mencoba untuk 'memelintir' pemahaman ayat tanpa dasar yang jelas. Apalagi menurut sebuah sumber, ternyata RS Siloam yang ada di daerah lain (seperti di Makasar sebagaimana ditegaskan oleh MUI setempat) tidak ada melakukan praktek-praktek kristenisasi seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan.

Lalu apa kepentingan kita untuk menyambut baik proyek ini? Sederhana saja. Sebagaimana dijelaskan Walikota Padang, proyek ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya setelah banyak dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap pasca musibah gempa yang kerap menghantam kota Padang. Nasib ekonomi masyarakat seharusnya lebih mendapatkan prioritas untuk diperjuangkan daripada memperturutkan dugaaan-dugaan dan kekhawatiran-kekhawatiran yang sepertinya agak berlebihan.

Apakah ini berarti kita tidak peduli dengan akidah umat? Penulis yakin bahwa siapapun yang mengaku muslim meskipun dalam level awam sekalipun tidak akan senang melihat saudara-saudaranya pindah agama. Tapi pertanyaannya, kapan kekhawatiran seperti ini tepat untuk diungkapkan dan bagaimana cara mengungkapkannya? Hemat penulis, kekhawatiran akidah umat akan tergadaikan dengan proyek pembangunan RS tersebut menjadi tepat kalau tokoh-tokoh pemerintahan daerah dan masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan agama. Selanjutnya, kalaupun kekhawatiran tersebut beralasan maka cara mengungkapkannya bukan dengan penolakan terhadap kehadiran 'pihak lain', tetapi dengan memperkokoh akidah umat dari berbagai serangan dan rayuan. Bagaimanapun kuatnya arus penentangan yang dilancarkan tapi kalau benteng akidah umat memang rapuh maka selemah apapun serangan atau godaan yang datang tetap akan mampu merontokkan akidah tersebut.

Di sisi lain, penentangan tersebut mengindikasikan bahwa kita merasa tidak PD (percaya diri) dengan akidah umat kita. Kita khawatir kalau-kalau mereka menjual iman hanya dengan sebungkus obat dari RS. Ini artinya peran yang dimainkan oleh para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat dalam memperkuat akidah umat masih sangat minim. Seandainya para ulama dan tokoh masyarakat yakin bahwa akidah masyarakat sudah kuat maka apapun gerakan yang dilancarkan pihak lain tidak akan membuat mereka khawatir apalagi gentar. Menolak proyek ini tidak berarti bahwa akidah umat akan terselamatkan. Karena faktor-faktor yang membuat seseorang menjual akidahnya bukan hanya kebutuhan kepada biaya atau obat-obatan. Pertanyaan selanjutnya, mampukah kita menciptakan lapangan kerja yang sama atau malah lebih luas dari apa yang dijanjikan oleh Lippo Group? Kalau mampu berarti kita memang tidak butuh kepada mereka. Sebagaimana dalam surat terbuka Bapak Mukhtar Naim kepada Gubernur Sumbar, akan lebih baik kita mencontoh kepada negara-negara maju yang lebih memberdayakan ekonomi mikro daripada menggaet investor-investor dari luar. Tapi kalau kita belum mampu, kenapa kita menjadi penghalang untuk terbukanya peluang usaha bagi masyarakat kita sendiri hanya karena dugaan atau kekhawatiran yang sekali lagi belum terbukti?

Lebih jauh dari itu, sebenarnya penentangan ini menyiratkan ketidaksiapan kita untuk menerima orang-orang yang berbeda dengan kita. Dan ini hampir terjadi di sebagian besar komunitas masyarakat. Ketika di sebuah daerah mayoritas adalah muslim maka kehadiran non muslim secara mencolok akan dicurigai. Apalagi kehadiran mereka legal dan formal. Sebaliknya, ketika di suatu daerah mayoritasnya non muslim maka keberadaan muslim juga akan dicurigai bahkan sering ditindas dan dimusnahkan. Padahal Rasulullah saw telah mencontohkan bagaimana masyarakat Madinah di masa itu hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani. Usaha-usaha untuk menyebarkan ajaran juga dilakukan oleh beberapa tokoh Yahudi dan Nasrani terhadap komunitas muslim. Tapi apa yang Nabi saw lakukan? Beliau menghadapi mereka dengan cara yang sama dengan yang mereka lakukan. Kalau mereka mencoba menyebarkan ajarannya dengan cara damai maka Nabi mengajak mereka berdialog. Kalau mereka mengemukakan argumen-argumen, Nabi saw juga menghadapi mereka dengan argumen-argumen yang jauh lebih kuat. Dan ketika mereka sudah menggunakan cara kekerasan, disinilah kekuatan pedang akan dipertimbangkan.

Kita berharap agar gerakan dihadapi dengan gerakan juga, argumen dilawan dengan argumen dan kekerasan juga bisa dibalas dengan kekerasan. Artinya, kalaupun seandainya ada pihak-pihak non muslim yang ingin menyebarkan agamanya kepada muslim melalui usaha-usaha persuasif maka sikap yang gentle dalam hal ini adalah membentengi akidah umat Islam dan melancarkan gerakan yang sama ke dalam komunitas mereka. Karena sesungguhnya ajaran Islam jauh lebih menarik dan 'menggiurkan' untuk dianut daripada ajaran mereka. Tinggal bagaimana kaum muslimin terutama para ulamanya mampu mengemas dengan baik dan menarik ajaran-ajaran mulia di dalam Islam untuk disodorkan kepada umat manusia. Ketika kalangan non muslim ingin menyebarkan agamanya melalui propaganda-propaganda, penyebaran buku-buku, debat-debat ilmiah dan sebagainya maka seharusnya kita lebih giat lagi dalam mempropagandakan agama kita serta menyebarkan dakwah Islam secara lebih elegan melalui buku dan diskusi-diskusi ilmiah. Adapun menyikapi sebuah gerakan persuasif dengan penentangan yang sarat dengan emosi dan sikap antipati maka ini sesungguhnya mencerminkan mental yang lemah dan tidak berani untuk bertarung secara jantan.

Pertanyaan lain yang juga perlu kita renungkan adalah, bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Ketika di sebuah daerah mayoritas masyarakatnya adalah non muslim. Lalu kaum muslim yang minoritas di daerah itu berniat mendirikan sebuah proyek dengan tujuan murni bisnis. Tapi karena kecurigaan dan kekhawatiran bahwa proyek itu akan dijadikan sebagai sarana islamisasi maka non muslim yang mayoritas menolak mentah-mentah proyek tersebut. Apa kira-kira tanggapan dan respon kita sebagai muslim? Tentu kita akan membela kepentingan saudara-saudara kita sesama muslim. Dan atas nama HAM kita barangkali akan menuduh orang-orang non muslim yang mayoritas tersebut bersikap terlalu berlebihan dan tidak tolerir dengan komunitas lain yang sesungguhnya telah berbuat sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak melanggar peraturan.

Sekali lagi, kita tidak akan membiarkan akidah umat menjadi sesuatu yang mudah diperjual-belikan. Namun penyikapan kita terhadap kasus-kasus yang berbau agama seperti ini perlu didasarkan pada logika yang kuat, emosi yang stabil dan pertimbangan yang matang. Karena sebenarnya ini tidak hanya terkait dengan kasus-kasus tertentu, melainkan lebih tentang paradigma berpikir kita dan sikap mental dalam menyikapi sebuah permasalahan. Jangan sampai luapan emosi atas nama agama dan keyakinan yang tidak memiliki dasar yang kuat akan mengorbankan peluang kerja dan mencari rezeki masyarakat kita sendiri. Wallahu a'lam.

Biodata penulis:

Nama                                     : Yendri Junaidi, MA

TTL                                         : Batusangkar, 23 Juni 1980

Pendidikan terakhir                        : Master Universitas al-Azhar Kairo Mesir

Status                                     : Ayah dari dua anak

Pekerjaan saat ini                 : Pembantu Ketua III STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang

Email                                      : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Hp                                          : 0823 9230 9930