(Resmamita/MA KMI Diniyyah Puteri)

Tenangnya malam bertamu hujan, pukul 22.30 WIB

            Rintik-rintik hujan itu berukir tak beraturan di jendela kamar yang didominasi warna merah jambu. Seolah menggambarkan bahwa pemilik kamar tersebut adalah seorang perempuan berjiwa lembut. Ya,sosok berwajah manis itu bernama Nadhira Mahesa. Gadis itu sedang meletakkan telapak tangan kirinya di jendela kamarnya yang dingin. Hembusan napas lirih yang ia ciptakan membentuk uap tipis di kaca jendela yang menjadi teman malamnya. Dhira –panggilan gadis berjiwa lembut ini— sedang menutup matanya dengan senyum yang menghiasi bibir diwajah yang tampak seperti hasil mahakarya Tuhan yang sempurna. Lalu, terucaplah kalimat-kalimat ajaib yang selalu ia ucapkan setiap malam tanpa pernah terlupakan. Kalimat-kalimat ajaib itu ia gantungkan pada bintang-bintang yang selalu tampak berkilau diatas sana.

“Aku ingin kau yang menjadi gantungan putih yang kuat untuk mimpi-mimpiku wahai bintang,” ujar Dhira perlahan

“Aku ingin, aku di masa depan adalah seseorang yang membawa nama bangsa ini di kancah Internasional dengan menjadi psikolog dan motivator tingkat dunia. Berkantor di lantai 30 di salah satu gedung 40 lantai di ibu kota Negara yang mempunyai karya menginspirasi banyak orang. Terima kasih gantungan putih yang selalu mendengarkan aku di atas sana dan terima kasih Sang Pemberi Kehidupan,” ujar Dhira seraya membuka mata dan menatap yakin ke arah bintang yang tergantung cemerlang dalam naungan langit yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.

            Tanpa Dhira sadari, sepasang mata lelah dengan wajah keriputnya di usia ke 60 tahun ikut mengamini semua mimpi-mimpi Dhira yang tak lain adalah cucu satu-satunya. Nek Imah selalu ikut dalam ritual rutin cucunya ini tanpa Dhira ketahui. Inilah kisah tentang manusia-manusia yang diciptakan oleh Sang Pemberi Kehidupan di kota sederhana jauh dari ibu kota, namun menyimpan warna cerita sama menariknya dengan warna-warna cerita ibu kota.

***

Kamar Dhira berhias perasaan sendu, pukul 16.15 WIB

            Entah sudah berapa lama Dhira merenung di bawah selimut dengan aliran air mata yang tak kunjung berhenti membasahi bantal yang menopang dirinya. Tanpa teriakan-teriakan kekesalan ataupun amukan emosi. Dhira hanya menangis dalam sunyi. Namun terkadang, hal itu membuat kepedihan tersebut semakin dalam.

“Apa saja yang kau lakukan di rumah, hah?! Sudah tua bukannya semakin patuh pada suami!” seru seseorang di luar sana

“Kau saja yang tak tahu diri sebagai laki-laki di rumah ini. Kita sudah tua, tak usahlah kau macam-macam,” kata suara renta dengan emosi yang buncah beserta isakan tangis

“Hah! Jangan kau ceramahi aku. Aku tak butuh, yang aku butuh adalah uang untuk hutang-hutangku,” kata seseorang itu lagi

“Aku tak punya uang yang kau minta!” tegas nek Imah terhadap suaminya yang tak tahu diri. Aliran bening di wajahnya terus mengalir.

“Mana uang itu? Aku ini suamimu. Kau dengar ndak!”

“Kau suamiku? Suami macam apa yang pergi berbulan-bulan entah kemana. Padahal sudah 60 tahun, masih suka berjudi. Lalu kau pulang minta uang padaku. Suami macam apa kau?!” bentak nek Imah dengan mata menyalang

“Dasar istri tak berguna!” seru kakek Dhira sambil mendorong nek Imah hingga terjengkang.

            Kakek Dhira akhirnya pergi dengan muka merah padam. Walaupun sudah terbilang renta, kakek satu ini masih tampak kuat dengan segala ambisi duniawi. Dhira dengan tangisan lirihnya berharap kakeknya tidak pernah kembali lagi. Kakek yang seharusnya jadi pengganti ayah saat orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dinas keluar kota 8 tahun lalu. Ia pernah membela neneknya atas pertengkaran entah yang keberapa kalinya. Namun, kakek menamparnya hingga membuatnya jatuh terhuyung. Sejak saat itu, nenek melarangnya untuk ikut terlibat dan sekarang ia hanya bisa menangis berteman sunyi mendengar jika ada pertengkaran yang datang tanpa pemberitahuan. Hidup memang pahit dan memuakkan di samping masih menyimpan permen manis yang kita kenal sebagai kebahagiaan.

***

Teriknya siang selaras dengan panas hati Nadhira Mahesa, pukul 12.15 WIB

            “Aku benci,” isak Dhira dengan lirih.

Ia dalam keadaan yang menyedihkan bagi siapapun yang melihatnya. Kepalanya menunduk dalam dan terduduk lemas di bangku kelasnya. Seolah ada beban maha berat yang membuat air matanya tak berhenti mengalir. Seperti tidak cukup dengan masalah kakek nenek yang memuakkan, kini ia dihadapkan dengan masalah lain. Satu diantara masalah-masalah yang menyesakkan hidup. Namun, seperti ada kekuatan magis yang merasukinya, Dhira segera bangkit. Dengan langkah tegas ia keluar kelas. Di ambang pintu ia berhenti dan menarik napas dengan begitu yakin.

“Aku benci hidupku!,” teriak Dhira. Ia pun berlari kencang menuju arah pulang. Kekuatan magis tadi bermetamorfosa menjadi energi besar yang membuat ia berlari dengan jarak rumah dan sekolah sekitar 15 menit yang biasa ditempuh dengan angkutan umum.

            “Aah!” teriak Dhira tanpa henti membuat orang-orang meliriknya dengan heran.

Masa bodoh dengan orang-orang tersebut, dibenak Dhira hanya ada masalah-masalah yang menyempit hatinya. Dimulai dari terpilihnya dia menjadi ketua OSIS, lalu dibebani dengan masalah tanggung jawab membimbing teman-temannya, namun yang terjadi adalah teman-temannya malah menjauhinya dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah mereka tidak ingin masuk buku hitam atas laporan Dhira. Bukan itu maksud Dhira atas jabatannya. Lalu dengan program-program kerja yang memiliki berbagai hambatan, tapi malah hal ini membuat ia harus selalu didesak oleh pembinanya untuk mengatasi semuanya. Dhira hanyalah seorang pemimpin kecil yang kewalahan karena tahu bahwa ia harus memimpin tanpa pengalaman sebelumnya.

            “Aah!” teriakan itu masih terus bergema.

Seakan tidak cukup hanya dengan satu masalah saja. Masalah lain datang berdatangan menghampirinya. Nilai-nilai Dhira turun akibat kesibukan dan tekanan emosional yang belum bisa ia kendalikan. Padahal ia adalah bintang kelas yang tak pernah turun dari tahtanya. Hal inilah yang membuat ia akhir-akhir ini masuk ruang guru untuk mendengarkan nasihat bahkan amarah dari para gurunya.

            Dhira membanting pagar rumahnya. Lalu membuka pintu rumah dengan kasar dan berlari ke arah kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di kasur bersama sedu sedan tangisan dengan seragam yang masih lengkap. Nek Imah masuk ke kamar cucunya dengan wajah yang tak kalah kusutnya.

“Dhira, kakekmu meninggal,” ujar nek Imah sambil terduduk lemas di ambang pintu.

Seperti ada yang mematikan lampu, sebab seketika kehidupan Dhira menggelap.

***

Waktu berlari kencang, 15 tahun kedepan pukul 20.00 WIB

            Dhira kini bukan lagi remaja dengan emosi yang meledak-ledak. Ia adalah seorang wanita dewasa dengan wajah yang memperlihatkan kematangannya dalam berpikir. Seorang wanita berpendidikan yang lahir dari pengalaman yang cukup mengajarkan arti kehidupan. Ia baru saja menginjak usia 31 tahun.

Dhira berdiri di balik kaca jendela kantornya yang bening. Senyum manis terukir di bibir yang masih sama dengan dahulu. Matanya terpejam.

“Terima kasih Sang Pemberi Kehidupan karena hanya Kau yang bisa mengabulkan segala impian. Terima kasih bintang-bintang yang masih setia mendengar dan melihat impian-impianku tercapai. Tunggu mimpiku selanjutnya wahai bintang dan aku selalu mencintai-Mu wahai Sang Pemberi Kehidupan,” ujar Dhira seraya tersenyum atas segala yang ia punya.

“Sayang, ayo kita pulang,” ajak seorang laki-laki tampan yang telah tiga tahun menjadi suaminya. Mereka berkerja dalam satu gedung, namun berbeda profesi. Sepasang manusia yang serasi, setidaknya itulah kalimat yang tepat untuk mereka.

            Berkat segala impiannya, Dhira berhasil menjadi seorang psikolog yang dikenal sebagai motivator di kancah nasional dan mancanegara. Dia juga seorang wanita yang dikenal dengan karya-karya yang membius siapapun yang membacanya seakan penulis-penulis legendaris kembali hadir. Dhira telah menerbitkan 10 buku dengan setengahnya mengalami 5 kali cetak ulang dan telah diterjemahkan ke dalam 7 bahasa. Ia berkantor di gedung 40 lantai dan kantornya di nomor 300 di lantai 30.

***

Saatnya melihat cerita lalu, 15 tahun ke belakang tanggal 16 Maret.

            Setelah kabar kakek Dhira meninggal, ia masih dalam keadaan berkabung dengan hatinya dan neneknya yang sedih walaupun Dhira bingung bukankah kakek adalah sosok yang buruk untuk Dhira apalagi bagi nenek. Namun, hati manusia tidak ada yang tahu, kecuali Sang Maha Tahu. Masalah Dhira dengan hatinya adalah masalah sekolah dengan cabang-cabangnya yang membuatnya tertatih ke sekolah. Sampai datang hari itu.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang itu.

Dhira mengangguk lemah tanpa melihat siapa yang bicara. Bagaimanalah kalau hatinya sedang berbendera hitam namun setengah abu-abu.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang itu lagi.

Dhira menggerutu. Ia siap untuk membentak, namun semua ucapan itu tertelan kembali karena yang tampak adalah seorang perempuan 20 tahunan dengan mata yang tak bisa menikmati indahnya lukisan alam semesta.

“Boleh,” jawab Dhira singkat kemudian menunduk menekuri tanah kembali.

“Kenapa kamu bisa tahu ada orang di sini?” tanya Dhira tanpa mengalihkan pandangannya.

“Aku tahu dari hatiku,” jawab orang itu membuat Dhira tersentak mendengar kata hati disebut. Bagaimanalah hatinya sedang menangisi kehidupan.

“Hati? Kau tahu, hatiku pecah dengan masalah-masalah kehidupan yang aku tak mengerti darimana datangnya,” ujar Dhira tersenyum sinis. “Sudahlah. Aku tak tahu kenapa aku mengatakannya padamu di kursi taman ini. Lupakan saja,” kata Dhira kemudian.

Namun, Dhira kembali tidak melihat senyum lembut dari seseorang itu. Orang tersebut membawa kertas sketsa. Apakah ia ingin melukis? Tapi apa yang ia lihat? Bukankah hanya gelap?

“Aku ingin kamu mendengar suatu hal. Diamlah sejenak, lalu pejamkan matamu dan dengarkan suara angin yang beralun bagai musik. Cobalah,” ujar seseorang itu.

Awalnya Dhira menatap heran namun tak urung juga kalau dia melakukan hal yang dikatakan padanya. Dan yang terjadi adalah ketenangan yang begitu dirindukan Dhira. Ketenangan yang tidak ia dapat sebelumnya sehingga membuat ia tertatih dan belum bisa mengendalikan hatinya.

“Apa yang kau rasakan?” tanya seseorang itu seolah dia tahu kalau Dhira pasti melakukan apa yang dia katakan. Tapi memang benar bukan?

“Tenang. Damai,”

“Itu kan yang kamu cari sekarang?” tanya seseorang itu disambut dengan anggukan kecil dari Dhira

“Seorang novelis pernah berkata dalam bukunya bahwa jika kita diibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda. Terus berputar. Naik-turun. Mengikuti siklusnya. Kamu sedang mengalami siklus itu dan akan terus mengalaminya. Namun, penulis itu juga berkata hanya orang-orang dengan hati damailah yang boleh menerima kejadian buruk dengan lega. Yang harus kita lakukan bukan menunduk untuk melakukan kesalahan lagi yaitu dengan menyalahkan diri kita. Tidak. Tapi, berdamai dengan hati kita dan aku yakin kita bisa bangkit kembali dengan wajah yang baru walau dengan hati yang telah terkena obat merah. Namun ia akan tetap kuat sebagaimana pada awalnya. Aku yakin kita semua bisa karena waktu yang berjalan sekarang adalah penyembuh segala luka dengan satu obat yakni kesabaran,” ujar seseorang itu tanpa perlu menyebutkan namanya dan kemudian pergi setelah mendengar namanya dipanggil, mungkin oleh mamanya atau tantenya yang mengikutinya ke taman dan mengajaknya pulang.

            Nadhira Mahesa terpaku. Ya, ia merasa damai dengan hatinya serta masalah itu sedikit berkurang dan masalah itu akan semakin berkurang jika ia mulai menyelesaikannya dengan caranya bukannya dengan menunduk begitu dalam. Disinilah keyakinan itu datang. Keyakinan akan janji-janji masa depan. Keyakinan bahwa ia tahu jika alam akan selalu ada untuknya untuk mendengar segala kesah dan beban yang terkadang harus mengeluarkan air mata untuk menyelesaikannya. Tapi itu bukan masalah bukan? Keyakinan bahwa setiap masalahnya akan selesai karena Sang Pemberi Kehidupan selalu ada dan akan selalu ada. Ingatlah bahwa kehidupan juga ibarat sebuah garis, namun garis tersebut takkan indah tanpa cacat-cacat yang sebenarnya melengkapi garis tersebut agar tetap senada dengan tidak lurus dan membosankan. Apakah kau mengerti kenapa impian-impian yang selalu Dhira ucapkan di setiap malamnya bahkan saat ia tersandung jatuh dalam kubangan masalah bisa tercapai dengan izin langit?

# # #

(Novia Rita/MA KMI Diniyyah Puteri)

                                                

Itulah yang diberitakan di koran akhir-akhir ini. Dan inilah kenyataannya. Aku tidak lagi dapat uang bulanan. Memang, uang itu masih dikirim oleh Abak dari kampung, namun jumlahnya tidak mencukupi.

“Runi, maafkan Abak cuma bisa ngirim segitu dulu ya.” Suara Abak bergema diHP bututku. Abak menelfonku setelah uang bulananku dikirimnya.

“Ah, tidak apa-apa, Bak.” Dalam urusan berbohong aku adalah ahlinya, tapi dalam tanda kutip untuk membahagiakan orangtuaku saja. Aku tidak mau membuat mereka bersedih.

“Bagaiman keadaan Abak? Sehat?” tanyaku seperti biasa.

“Kau jangan mengalihkan pembicaraan dulu, Abak tak yakin kau baik-baik saja dengan uang yang hanya sebanyak itu.” Seperti biasa, Abak tidak mempan dengan kebohonganku.

“Kalau Amak sehat, Bak?” tanyaku lagi masih mencoba mengalihakan pembicaraan.

“Runi, Abak dan Amak alhamdulillah sehat-sehat saja, kau sendiri bagaimana?”

Aku berhasil mengalihkan pembicaraan ini, karena aku tidak mau mendengar hal-hal atau berita yang akan membuatku bersedih, walaupun kenyataannya aku sudah tahu berita itu.

“Ah, anak Abak ini selalu sehat di sini,” jawabku,

“Syukurlah kalau begitu, Run. Kau sudah tahu tentang asap yang melanda Alahan Panjang kan?” Abak memulainya lagi.

“Ya Runi tahu Bak,” jawabku memelas.

“Itulah sebabnya uang jajan kau Abak kurangi. Bukan dikurangi, lebih tepatnya terkurangi.”

            Ah, asap. Sebenarnya aku sangat prihatin terhadap kampungku Alahan Panjang yang juga membuat dompetku patut ikut untuk diprihatinkan. Namun apalah yang bisa aku perbuat, menyedot semua asap dengan mulutku. Mustahil.

“Memang bagaimana dampaknya, Bak?” tanyaku, sambil menatap keluar jendela kamar kosku, berkhayal bisa melihat Alahan panjang dari sini.

“Ya, gimanalah, Run. Banyak tanaman yang rusak jadinya,” Potong Abak.

Aku merasakan gurat kesedihan di suara Abak.

“Tomat yang baru Abak tanam sudah menghitam daunnya dan batangnya tidak mau tinggi, Run. Sudah beberapa lama, masih juga belum tinggi-tinggi. Belum lagi sekarang musim kemarau panjang, banayak sumur yang kering, jarang hujan.”

            Aku membayangkan betapa sulitnya kehidupan ekonomi yang ada di negeri Alahan Panjang saat ini. Padahal negeri kami adalah negeri yang kaya. Tanah yang subur, udara nan sejuk, penduduk nan ramah. Danau saja kami punya 2 buah, Danau Kembar.

“Terus sekarang gimana, Bak. Masalah airnya?” tanyaku prihatin.

“Itulah, Run. Dari ladang kita sungai sangat jauh, kalau dekat pun sungai-sungai sudah pada kering. Jadi untuk mengangkut air, Abak menyewa mobil Pak Syahril,” jawab Abak.

“Keluar uang lagi dong Bak buat nyewa?” Potongku tambah iba mendengar informasi dari Abak.

“Yah mau bagaimana lagi, Run. Kalau tidak sudah mati semua tanaman yang Abak tanam.”

Sebenarnya kami bisa memanfaatkan air danau, tapi ladang kami berjauhan dengan danau.

* * *

Mataku kubuka selebar-lebarnya, namun masih saja mengantuk, hasil bergadang tadi malam. Walaupun sekarang aku masih duduk di bangku SMA, tapi Alhamdulillah aku sudah punya pekerjaan sampingan membuat artikel atau berita di majalah sekolah dan aku juga menerima jasa mengetik. Jadi bisa nambah-nambah uang jajan.

“Ah, pegalnya.” Aku berdiri dari kursi meregangkan badan layaknya seekor kucing.

“Sabar ya butut, kamu memang pahlawanku.”

Butut adalah nama panggilan untuk leptopku yang lumayan eror. Kondisinya parah, maklumlah leptop bekas yang aku beli dengan harga super murah. Kalau dipakai terlalu lama bunyi bak bunyi mesin bajai saja, berisik. Kalau kelamaan dipakai, panasnya minta ampun, walaupun udah pakai kipas.

“Runi…..”

Itu pasti Monalisa. Dengan malas aku menyeret badanku ke depan pintu, dan benar saja itu dia.

“Lama amat bukanya,” cerosos Lisa dan tanpa dipersilahkan ia langsung masuk.

“Ya ampun Run, pasti tadi malam kamu begadang lagi?” Mata Lisa terbelalak menyadari aku tertidur berdiri di depan pintu dengan kantong mata panda yang semakin menghitam.

“Kamu itu ya, Run. Harus jaga kesehatan. Udah disini tinggal sendiri, harus pandai-pandai ngerawat diri,” ceramah Lisa menarikku agar duduk di kursi, lalu ia berlalu ke dapur.

“Lis, tau nggak aku lagi kere tingkat kuadrat nih?” Teriakku, mengeraskan suara agar terdengar oleh Lisa.

“Kalau nasib kamu yang kere aku mah udah tau dari dulu kale…” Jawab Lisa keluar dari dapur menyodorkan segelas teh panas yang terlihat dari asapnya yang mengepul.

Thanks,” ucapku, sambil meraih gelas lalu meniup-niupnya sebelum diseduh.

“Memang sekarang apa lagi penderitan yang menghampirimu?” tanya Lisa menatapku yang masih dalam keadaan ngantuk.

“Aku kan sudah meminimalisir seminimal-minimalnya pengeluaran uang untuk kehidupan sahari-hari. Nah, masalahnya sekarang uang jajanku masih saja terminimalkan jumlahnya,” keluhku menopang dagu.

“Rumit banget sih kamu ngomongnya. Memangnya kenapa?” tanya Lisa sambil mengambil teh yang telah ia berikan untukku tadi dan meminumnya.

“Kamu tahu kan tentang kebakaran yang menyebabkan beberapa wilayah nusantara ini tertutupi oleh asap?” tanyaku yang dijawab anggukan kepala oleh Lisa.

“Nah yang lebih parahnya kampungku juga termasuk dari salah satu korbannya. Semua tanaman jadi rusak. Aku jadi nggak tenang, harap-harap cemas dengan kondisi keluagaku,” curhatku.

“Memangnya kamu sudah tanya tentang kondisi keluargamu?”

Aku menjawabnya dengan satu anggukan lemah.

“Terus apa kata orang tuamu?” tanya Lisa lagi

“Amakku bilang, kondisinya udah parah banget. Banyak penduduk kampung yang kehabisan akal. Ladang yang tadinya baik-baik saja, namun gara-gara asap tanamannya jadi rusak. Musim kemarau panjang juga menyebabkan minimnya sumber air. Nah, kalau udah gitu, butuh biaya besar untuk perbaikannya. Namun sekarang jangankan untuk memperbaiki ladang, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susahnya minta ampun. Buktinya saja pasar mingguan yang ada di kampungku hanya ramai dengn penjualnya saja.” Aku mengutip semua kata-kata yang Amak ceritakan kepadaku dan kurang lebih begitulah bunyinya.

“Kamu kan bisa minjam dulu,” saran Lisa sambil menepuk-nepuk sakunya, yang maksudnya aku bisa minjam uang miliknya. Lisa dan Aku sama-sama anak bungsu, jadi sedikit banyaknya kami sama-sama saling mengerti. Bedanya Lisa adalah seorang anak konglomerat yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga Lisa tidak sempat untuk terperhatikan. Jadilah Lisa sebagai anak yang kurang kasih sayang orangtua seperti yang selalu ia curhatkan. Sedangkan aku anak seorang melarat.

“Nggak, aku nggak mau pakai uangmu,” tolakku seperti biasa. Aih, kenapa ia malah menawarkan uang? Seharusnya ia kan menghiburku.

“Ayolah, Run. Sekarang ini kamu lagi butuh uang. Jangan sok jual mahal lagi deh.”

Akhirnya kuterima juga uang pinjaman Lisa. Benar apa yang ia ucapkan. Saat ini aku butuh uang, bukan butuh hiburan.

# # #

(Azzahra Rania Inysa/MTs DMP Diniyyah Puteri)

 

Matahari menerobos masuk ke jendela kamarku yang sedikit terbuka. Aku membuka mata perlahan. Panas seketika, saat mataku beradu dengan cahaya kekuningan yang menerobos dari jendela kamar. Aku berkedip-kedip, mencoba beradaptasi dengan situasi. Sepertinya aku terlalu lelah, hingga tadi malam tidur nyenyak sekali.

Aku meregangkan badan. Aku benar-benar seperti seseorang yang sudah tua. Lihatlah sekarang diriku, mengenaskan sekali. Aku sedang duduk di atas kasur yang sudah berantakan dengan rambut yang sudah acak-acakan. Sip, aku memang benar-benar akan dicap sebagai orang gila di pagi hari ini.

Sebuah suara menginterupsi diriku. Apa terlalu pagi untuk memulai interaksi? Huff.

“La, bangun lagi. Jangan tidur terus, udah pagi!” Suara itu sepertinya berasal dari bawah dan kupastikan ayahku sedang berteriak.

“Iya, udah bangun, yah. Tapi jangan teriak-teriak dong.” Aku balas berteriak, moodku langsung kacau. “Bisa tidak pagi-pagi itu tidak perlu berteriak?” Batinku dalam hati. Tetapi walaupun begitu, tetap saja aku menuruti kata-kata ayahku.

Aku lihat ayah masuk ke dalam kamarku. Tidak terasa, waktu sudah berlalu sangat cepat. Badan ayahku yang dulu tegap sekarang menjadi bungkuk. Wajahnya juga, sudah mulai berkerut.

“Ada apa nih liat-liat? Ayah tau kok, ayah itu masih ganteng kan?” Ayah bertanya kepadaku dengan nada bercanda.

Ayolah, aku sedang tidak ingin bercanda. Aku hanya mencibir ayah. Pura-pura tidak peduli.

“Ayah makin tua, hehehe.” Aku berkata seperti itu dengan nada garing, antara ingin bercanda dan berkata serius.

“Anaknya saja sudah besar.” Ayahku menjawab disertai dengan senyuman.

“Maksud ayah apa? Badanku, apa umurku, yah?” Aku memasang wajah seperti anak kecil yang sudah kehilangan sebuah balon.

“Aaa…!” Baru saja ayahku mau menjawab, terdengar teriakan ibu. Aku segera menghela napas. Asal kalian tau saja, ibuku punya semacam penyakit jiwa. Aku tidak tau namanya apa. Ayah tidak pernah ngasih tau tentang penyakit ibu. Lagi pula aku tidak bertanya banyak tentang ibu. Pernah suatu ketika aku bertanya tentang penyakit ibu, mata ayah langsung redup. Dengan kejadian seperti itu, kupastikan aku tak akan bertanya lebih banyak.

“Sudah ya, ayah ada urusan. Sabila pasti tau urusan ayah,” ucap Ayah.

Aku mengangguk. Ayah pergi dengan membawa kesedihan. Kesedihan yang sangat mendalam. Ah, terlalu rumit masalah keluargaku. Aku membereskan kasurku yang berantakan, dan segera bersiap untuk mandi.

Selesai mandi, aku berganti baju sekolah. Bersiap-siap untuk mencari ilmu. Jam sudah menunjukkan setengah tujuh, sebenarnya sebentar lagi aku akan masuk sekolah, tapi ah sudahlah, biarkan saja. Rasanya hari ini benar-benar malas untuk sekolah, mungkin karena masalah tadi. Aku melihat sekeliling kamarku, semuanya sudah bersih. Aku lihat diriku, sudah rapi. Oke, sudah siap.

Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar. Ibuku masih berteriak dan pastinya ayahku sedang menenangkan ibuku. Aku tutup pintu kamarku dengan perlahan. Kakiku menuntunku untuk turun dari tangga. Satu persatu kakiku turun. Dan kulihat ibuku sedang menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti. Aku ngeri sendiri melihat ibuku. Bayangkan saja, rambut berantakan, pakaian sudah amburadul. Kedua tangannya sedang dipegang oleh ayahku. Pegangannya sangat erat. Astaga dan lihat! Isi rumah sungguh berantakan. Vas bunga pecah. Sulit untuk digambarkan secara jelas.

Ayah segera berkata kepadaku dengan suara keras, “Cepat pergi dari sini, La. Mau kena masalah?” Aku mengganguk, tanda bahwa aku mengerti. Segera kulangkahkan kakiku keluar rumah, menuju sekolah.

Jam sudah menunjukkan tujuh lewat seperempat. Benar-benar telat. Gerbang sudah dikunci. Aku hanya menatap nanar. Mataku mencari sekeliling, dan kudapatkan sebuah tembok kecil dan di depannya ada pohon besar dan sangat tinggi yang menjulang ke atas. “Memang lebih baik manjat,” batinku dalam hati.

Aku segera memanjatnya dengan lihai, dan segera berlari menuju kelas. Pelajaran pertama sudah dimulai, semua belajar dengan khidmat. Ah, sepertinya aku benar-benar akan menjadi pengganggu hari ini.

Aku berjalan dengan kaki yang dihentakkan, agar terdengar sampai ke dalam kelas. Guru yang sedang mengajar tiba-tiba berhenti menulis, lalu ia memicingkan mata dan menajamkan pendengarannya. Teman-teman melihat ke arah pintu. Ada yang menyeringai jahat, sepertinya senang karena aku telat. Ada juga yang bersimpatik, sepertinya kasihan denganku. Aku membuka pintu, menghela nafas. Badanku penuh keringat, berpeluh. Maklum, aku habis lari-lari.

“Kenapa kau telat terus di pelajaran saya?” Guru itu berkata dengan aksen Bataknya yang kental.

“Maaf, pak. Ada sedikit masalah.” Aku berkata dengan tenang, sudah kuperkirakan memang bakal jadi seperti ini.

“Berdiri di depan lapangan, hormat ke bendera. Berdiri di sana sampai istirahat.”

Hei, apakah tidak keterlaluan? Aku ini seorang gadis!

“Kenapa masih berdiri di sana? Cepat pergi!” Begitulah pengakhiran kata-katanya, masih dengan aksennya Bataknya yang kental.

Kalimat-kalimat sindiran, saling bisik-bisik. Entahlah apa yang akan terjadi saat istirahat.

Sekali lagi, aku menghentakkan kakiku. Dengan wajah sebal, aku pergi ke lapangan sekolah untuk menjalankan hukuman yang menurutku sangat keterlaluan itu. Benar-benar hari yang buruk.

Sekolah sudah usai. Benar kataku, sehabis hukuman, aku disindir habis-habisan oleh teman-temanku. Harga diriku benar-benar dipermainkan hari ini. Aku pulang sekolah dengan wajah kusut, tak sabar ingin menceritakan kejadian ini pada ayah. Sesampainya di rumah, aku langsung membanting pintu. Dan kurasakan orang-orang yang berada dalam rumah tersentak.

“Assalamualaikum, ada orang?” Sebenarnya ini pertanyaan yang sangat bodoh, ah otakku memang kacau.

Mendadak suasana di rumah lengang. Dahiku berkerut, ganjil sekali. Kenapa tiba-tiba lengang? Seperti ada tangan jahil saja yang menekan tombol mati, sehingga semuanya mendadak lengang. Apa yang terjadi? Aku bergidik ngeri. Perlu kalian ketahui, seharusnya kalian lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening. Bukannya takut saat mendengar suara cekikikan.

Aku keringat dingin, membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi pada ibu. Tunggu dulu, ibu….Astaga, ibu!

“Ayah…ibu!” Aku berteriak dengan suara serak. Air mata sudah berjatuhan di pipiku. Aku berlarian ke arah dapur, tidak ada orang. Tetapi, dapur sungguh sangat berantakan. Ada apa ini? Aku berlarian ke ruang kerja, tempat ayah. Namun tetap tidak ada orang, tetapi aku menemukan secarik kertas yang berisikan tulisan,

‘Sesungguhnya tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan seorang ayah dengan kerja kerasnya. Ayah benar-benar pria yang bertanggung jawab. Ayah… Apakah ayah tidak capek? Kalau jadi ayah, pasti Sabila gak kuat. Sekarang Sabila sadar, Sabila benar-benar merasakan beban ayah, maafkan aku ayah.’

Anakmu, Sabila.                                             

Itu surat waktu aku masa-masa Sekolah Dasar dulu, sudah begitu lama. Pantasan saja sudah lusuh kertasnya. Aku membalikkan kertas itu, dan di kertas ada sebuah jawaban!

Terimakasih, La. Makasih ya, anakku.’ Aku menitikkan air mata, terharu.

“T-to..!! Hmmp!!” Seperti suara ayah. Aku ikuti suara itu. Dan aku rasa suaranya berasal dari kamar. Makin lama suara itu semakin memelan. Rasa curiga itu semakin tinggi. Aku keringat dingin, kawan.

Kudobrak pintu, dan mendapatkan ibu memegang sebuah benda tajam. Di hadapannya ada sesosok pria tergeletak dengan muka yang sudah seperti dihantam sesuatu, dan perut yang berdarah. Aku terlonjak kaget. Sekarang aku tahu, aku tahu kenapa suasana mendadak hening, aku juga tau kenapa tadi dapur berantakan. Aku akhirnya tau jawabannya. Pahlawanku sudah hilang, benar-benar sudah hilang. Beban yang selalu ia bawa sudah hilang. Dan kurasa aku harus bawa ibu ke Rumah Sakit Jiwa sekarang dan memanggil Ambulance. Sesegera mungkin.

# # #

(Nisa’ul Afifah/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

 

Deras hujan berlomba membuat rekor tercepat di pikiranku. Mengolah didihan kecil emosi dalam dadaku. Gigilan hujan kuhiraukan, karena terpana dengan langkah-langkah lewat tapak kaki mewah di depanku.

“Hei miskin, apa kau lihat-lihat sepatu mahalku ini,” teriak gadis bermulut besar dengan pagar merah menghiasi gigi besarnya.

“Tak ada, aku hanya memeriksa apakah ada permen karet di bawah sepatu mahalmu itu,” celotehku singkat dengan menenteng sepatu lusuhku yang penuh dengan genangan berwarna cokelat di dalamnya. Aku juga tak peduli dengan leburan makian lantangnya.

Pijakan demi pijakan kakiku membuat lantai jadi basah hanya karena kakiku yang terkena hujan. Sedangkan lantai yang tidak kupijaki utuh tanpa basah, sebab semua manusianya tak beralaskan bumi luas.

“Amii, kau lagi-lagi membasahi lantai dengan kaki kumuhmu itu. Kau tak usah sombong di sini dengan beasiswa yang kau peroleh,” ucap Rika, anak ketua yayasan sekolah ini.

Semenjak kecil, aku hanya hidup dengan ayahku, sedangkan ibuku pergi entah kemana. Ayahku bilang ibu pergi mencari suami baru yang dapat membelikan peralatan-peralatan mewah buatnya. Karena itu, setiap aku melihat manusia sombong dengan barang mewahnya, tanpa sadar emosiku memuncak karena dapat mengingatkanku pada ibu.

‘’Amiskin, hari ini ada PR, tidak?” tanya Lala di ambang pintu kelasku. Aku tak menyahuti panggilannya, karena aku tak merasa, walau panggilannya yang bertujuan menghina itu tertuju hanya padaku.

“Hei, kau tidak mendengar ya? Tuli!” teriak Lala lantang sambil memukuli meja belajarku dengan kasar.

               Aku pun pergi meninggalkan kelas yang mulai gaduh. Emosiku tak bisa tertahankan lagi. Tangis tersapu di tanah goresan kakiku. Aku menyusuri taman belakang sekolah, tempatku berbagi kisah pada langit yang selalu menyapaku dengan riang. Belum sempat langkahku menyapa bau basah kembang-kembang yang ada di sana, aku bersua dengan sekelompok temanku yang sedang membaca majalah. Aku tak peduli pada apa yang mereka baca dan mereka bicarakan, tapi mereka mencegatku dengan kasar.

“Amiskin, kau berani menerima tantangan kami, tidak? “ucap Maya dengan wajah sinisnya.

“Berani sekali kau, aku tak takut, memang apa yang ingin kau tantangkan?” ucapku dengan penuh perasaan kesal.

“Apa kau bisa membeli sepatu merah muda seharga dua ratus ribu dalam waktu satu bulan ini?” tanya Lili.

“Aku bisa, akan kubuktikan itu,” jawabku dengan semangat berkobar, lalu pergi meninggalkan mereka.

Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan dan kubicarakan. Aku hanya tidak ingin dihina miskin lagi. Aku ingin berteman seperti yang lain, bercerita dan tertawa sepanjang hari. Aku akan berjuang untuk mendapatkan sepatu itu. Tuhan, tolong aku…..

Kutatap wajah langit yang kian lama kian memucat, seolah tak mendukung tindakan nekadku yang jujur saja baru kali ini aku lakukan. Hampir saja kulupakan pendapat ayahku tentang semua ini dan mulai kulajukan kaki kecilku pada gubuk derita terindahku.

“Ayah…, ayah dimana?” tanyaku sedikit tergesa-gesa dengan dentuman nada jantungku yang mulai bergetar.

“Ayah di sini, di dapur” jawab ayah santai sambil menatapku dengan heran.

“Begini, yah. Ada yang ingin kukatakan,”ucapku sedikit tergagap menahan sakit perutku yang datang tiba-tiba.

“Memangnya ada apa, nak?” tanya ayah yang tak menyadari gelagatku yang berubah.

“Aku sudah berjanji pada temanku untuk membeli sepatu warna merah muda seharga dua ratus ribu dan waktunya hanya satu bulan, yah,” gumamku sambil kutatap ayah dengan takut-takut.

“Mi, lupakan saja perjanjian itu, uangnya kan bisa kau tabung untuk keperluan sekolah nanti.”

“Tapi, yah. Ya sudahlah, kalau ayah tak ingin membantuku, aku akan bekerja sendiri saja.”

Sikap membantahku kepada ayah, menurutku adalah sikap yang sangat tidak terpuji. Tapi entah bagaimana caranya aku bisa bekerja? Aku pun memeras otakku. Tatapanku tiba-tiba membias pada singgasana yang hanya terlihat itu-itu saja dengan warna yang tidak beragam. Tidak sama dengan singgasana yang dimiliki permaisuri di film-film kartun. Tergerak langkahku melihat koran harian bekas yang menjadi taplak mejaku. Sekian detik aku seperti mendapatkan ilham dari Tuhan bagaimana cara memperoleh lembaran-lembaran uang berwarna merah itu. Aku harus menulis, memaparkan kisah belengguku di atas kertas. Aku yakin pasti bisa.

“Mana pensilku, kertasku, aku ingin menulis,” gumamku tak jelas menjuluri setiap tapak kamarku.

               Tak terasa kata-kata harus bisa itu telah berbaur dalam mihrab pembawa rezeki ini. Aku ayunkan langkahku kira-kira 2 kilometer ke Mekar Pos, harian yang sering kudengar pemurah dalam menerima naskah. Sejujurnya, memang niatku dari dulu ingin menulis untuk berbagi cerita pada khalayak, tapi kini niatku berbeda.

“Pak, aku ingin kirimkan naskah, bolehkah?” tanyaku polos dengan rasa percaya diri yang dari tadi telah kutimbulkan.

“Silahkan, nak. Kau tunggu saja besok ya,’’ jawab bapak dengan seragam batik membiaskan senyum ramah yang menampakkan rentetan giginya.

Kulangkahkan kaki kecilku yang terasa sedikit panas karena tapak sendalku yang sudah menipis. Kelabu senja mulai tampak membahanakan senyumnya sedari tadi.

* * *

            “Ari, ayo kita pulang,” ucap seorang bapak dengan pakaian lusuh yang saling bercakap seusai bekerja membuat bangunan baru.

“Tunggu dulu, Gus. Aku ingin lembur, kau pulang dulu saja,” teriak bapak yang bernama Ari dari tingkat atas bangunan.

“Aku heran pada kau, tadi siang kau tak ikut makan, kini kau lembur. Aneh sekali” ucap pak Agus sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

* * *

Pikiranku bergema tercecer dimana-mana, maklum saja karena bangun dari kelelapan semalam.

“Tapi tunggu, bukannya tadi aku masih membuat tulisan di meja belajar, kenapa sudah di kasur ya?” tanyaku sejenak lalu mengucek mata. Ah, lupakan saja, mungkin aku menggigau karena letih. Ayah juga sedang marah padaku.

Kulangkahkan kakiku menuju tempat pendidikan yang dikenal sebagai sekolah favorit itu. Namun, kini ada yang berbeda dari kebiasaanku. Singgah sebentar menuju Mekar Pos akan menjadi kebiasaanku selanjutnya. Karena aku tak memiliki uang banyak untuk membeli koran edisi, kuputuskan untuk meminjam saja dan ternyata karyaku tak ada. Kepercayaan diriku menyusut.

Waktuku menjadi hari-hari dengan tulisan yang selalu berangkai dalam pikiran dan berlembar-lembar yang telah terdeteksi. Tapi, tak kunjung terpublikasikan. Bagaimana aku bisa mendapatkan uangnya kalau begini terus. Kuayunkan jariku untuk menghitung beberapa hari yang telah kuhabiskan untuk semua ini, tak terasa telah tiga minggu usai. Tersimpulkan tinggal seminggu lagi. Aku menyerah, angkat tangan pada segalanya.

Telah dua hari kuvakumkan diri menuliskan sesuatu. Tidak seperti biasanya, asing. Seperti ada ruh untuk melampiaskan ke secarik kertas itu. Aku ingin menulis lagi, tapi bukan untuk sebuah sepatu merah muda itu. Aku yakin jika aku bersungguh-sungguh mendapatkan sepatu itu, aku pasti bisa. Tapi, aku menyerah jika memakai cara lewat menulis. Kali ini, aku hanya ingin melepaskan penat. Melukiskan dalam sebuah kumpulan kata. Semoga indah.

“Mekar Pos, aku ingin kirimkan satu lagi tulisanku, tapi aku tak berharap kau upah aku,” senandung riangku membahana di istana kecil ini.

“Mi, kau hebat juga ya. Keren lho tulisannya,” ucap kak Iqbal selaku pengelola mading lewat di sampingku. Kentara sekali nada riang kak Iqbal denganku. Aku bingung. Kujawab saja “Terima Kasih”. Entah dari mana kakak itu tahu aku suka menulis.

Eits, mengapa jantungku berdetak cepat sekali ya. Kulihat ke depan mading sekolah dan memang firasatku benar, tulisan terakhir yang baru aku buat dari Mekar Pos terbit dan dikliping di mading. Hanya haru yang terasa. Aku berlari pulang menuju Mekar Pos. Tak tahu pelajaran selanjutnya yang akan kukorbankan, yang terpenting aku senang tak terkira. Terima kasih Tuhan, mungkin ini jalanku mendapatkan sepatu itu.

Genggaman berisi 150 ribu berkat tulisan itu telah ada di tanganku. Aku tak pernah memperkirakan semua ini. Seperti khayalan saja. Ini yang pertama dan bukan yang terakhir bagiku. Lagi-lagi terimakasih Tuhan. Rute Mekar Pos kualihkan ke tempat bekerja ayah. Aku yakin ayah juga ikut senang.

“Yah, tulisanku terbit, aku dapat 150 ribu.”

“Hebat kau.” Tak ada nada berang dalam nada ayah bicara. Aku senang.

“Berarti tinggal 50 ribu lagi kau butuhkan? Ini untukmu.” Ayah menyelipkan beberapa uang kertas lusuh ke tanganku. Lengkap sudah uangku 200 ribu. Heran, dari mana ayah dapat uang sebanyak itu. Ah, nanti saja. Yang terpenting aku harus ke toko sepatu itu sekarang dan mematut diri di kaca kamar.

Tanpa kenal malu, kusambar sepatu yang persis seperti di katalog itu dan kusesuaikan. Pas, lalu kuberikan saja uangnya ke kasir. Sang penerima uang itu hanya melihat sinis ke seragam sekolahku yang lusuh dan ia menyindirku. “Dek, sepatu yang dibeli tidak dapat dikembalikan.” Aku kesal sekali mendengarnya, dia kira aku tak tahu apa, mana ada orang yang tak tahu toko sepatu mahal ini bisa ganti-ganti sepatu.

Tanpa ucapan salam, kulangkahkan kakiku ke kamar agar cepat mematut diri di kaca. Ayah yang lelah pulang kerja hanya senyum-senyum saja melihat tingkahku yang seperti anak-anak. Satu hal yang membuatku tercekat, pandanganku beralih pada alas kaki ayah yang tak bisa kujelaskan bentuknya. Sendal jepit kerja ayah yang telah putus pengaitnya telah disambung ayah dengan tali berwarna putih yang telah penuh bintik hitam. Tapak yang seharusnya putih utuh telah banyak lecet dipinggirannya.

Buliran bening telah jatuh seketika di pipiku. Sepatu merah muda yang telah tergenggam, kulempar begitu saja. Ayah, maafkan aku. Tuhan telah memberikan jalan dengan corak indah untuk meluruskan jalan dan niatku yang salah, walau usahaku telah membuahkan hasil.

# # #

“Susah ya, jadi orang cantik. Belum hari H sudah banyak pengeran menitip salam,” celoteh teman karibku.

“Yah, itu mah harus disyukuri. Kayak kamu gak aja. Eh, lihat tuh, di lacimu juga ada tu,’’ spontan kumemberi tahu.

“Mana-mana.” Langsung ia berlarian menuju mejanya.

Tak menunggu waktu lama, Nia telah membuka suratnya. Senyum-senyum sendiri sudah menggambarkan ada detak jantung yang tak biasa merasuki sahabatku itu.

“Ciye…ciye….. surat dari siapa tuh,” serbuku tak mau kalah.

“Dari Yogi, anak IPA 2,” jawabnya senang.

***

“Non, banyak paket untuk non Hanny. Apakah mau diletakkan dikamar non aja?,” tanya bik Atik.

“Eh, iya, bik. Letak aja di kamarku,” serponku di sela fokus menonton film.

Detik membahagiakan inilah yang paling kunanti-nanti selama setahun ini. Setelah hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan ulang tahunku tentunya, ada satu lagi yang kumasukkan ke dalam tanggal impian. Ya, Valentine Day, hari kasih sayang. Sudah 16 tahun umurku hidup di dunia ini, tetap saja besok adalah hari istimewa bagiku, Nia dan gadis-gadis di luar sana. Jika ditanya apa asal mulanya, aku juga gak tau pasti. Yang jelas semua orang yang kukenal merayakannya dan itu digemari oleh semua kalangan. Pernah sih aku mempertanyakan siapa pelopor di balik ini semua, tapi itu terabaikan hingga saat ini.

“Nia, kamu tau asal mulanya Valentine Day?” tanyaku yang saat itu menginjak 11 tahun.

“Itu hari untuk mengungkapkan cinta, Hanny. Semua orang tahu itu,” jawab Nia saat kami masih kelas 1 SMP.

Jadi, kata-kata itu yang selalu aku jawab jika ada orang yang mempertanyakan apa itu Valentine Day dan panduan itu juga yang membuatku ikut memeriahkannya. Aku tahu saat itu kebebasan diperbolehkan. Dan aku juga tau kalau hari itu pasangan kekasih bisa benar-benar membuktikan cinta mereka dengan berbagai cara. Tapi prinsipku, walaupun aku di mata anak sekolah termasak cantik dan populer,yang jelas nilai agama masih menjadi mahkota di kepalaku. Tidak kan pernah tergegas oleh nafsu atau lebih dari itu. Pesan mama sebelum meninggal benar-benar menjadi pedang dalam hatiku.

“Hanny, jaga dirimu baik-baik, nak. Ingat sholat dan hati-hati dalam bergaul. Mama mencintaimu,” nasehat terakhir mama, tujuh tahun silam.

Kalau boleh berbangga, aku dan Nia termasuk siswa minoritas yang masih terhormat. Bukan lagi rahasia jika banyak korban yang terjatuhan atas kemauan dan kegilaan mereka sendiri yang tentunya harus dibayar dengan penyesalan.

Puluhan nuansa pink tergeletak di atas kasurku malam ini. Memang sudah tradisi setiap cowok-cowok di sekolah, jika menyukai seseorang wanita harus memberikan maksud dan tujuannya sebelum hari H terjadi. Kado, boneka, bunga, surat dan cokelat, menjadi hadiah wajib. Aku tidak menyangka kado-kado ini khusus diberikan kepadaku. Kalau boleh jujur, masih kalah aku dengan Santi si primadona sekolah. Tapi kita tidak boleh rendah diri, jadi disyukuri aja, begitu kata mama dulu.

“Tut…tut…tut…” HP BBku berdering. Langsung kuangkat saat melihat nama yang tertera.

“Hanny, saat ini kau pasti sedang dikerumuni oleh kado-kado cowok-cowok itu kan? Berapa banyak?”serbu pemilik suara cempreng, enerjik dan galak saat kubaru berkenalan dengannya.

“Lumayanlah,” jawabku senang.

“Aku penasaran banget! Apa saja sih isinya,” balas Nia.

“Baiknya aku buka yang mana dulu yah,” ucapku dilema

Aku tidak peduli siapa yang memberikan semua ini, ganteng atau tidak. Semua akan kuhargai dan kalau perlu akan mewarnai kamar luasku. Tapi kalau pacaran, itu lain cerita. Ini murni hanya menghargai semata.

Surat pertama yang paling menonjol diantara yang lain, siapa lagi kalau bukan Andre, kapten basket yang tak juga kapok-kapok walaupun sudah aku tolak.

“Selincah gelora datang, Hanya kau, Hanny, yang mampu melewati hatiku.”

                           “Andre”

Wow! Kebahagiaan lengkap bersamaan gigitan cokelat pemberiannya. Ini yang aku suka dari Valentine Day, menikmati cokelat dengan kata-kata yang dirancang khusus untuk kita, siapa juga yang gak senang.

“Wahai kau, Hanny. Tahukah engkau, hanya satu nama yang selalu singgah dalam mimpiku. Ketika malam memantulkan bulan, mulai bercerita kepada pembaca surat ini.”

“Asep”

Membayangkan wajar Asep dengan gigi nonjol ke depan, aku tersenyum kecut. Tapi satu hal yang kusuka darinya, pede yang tinggi, cukuplah aku hargai. Lagian orangnya juga asyik diajak diskusi. Tapi kalau dia mencintaiku, yah itu mah urusan dia.

Surat demi surat, kado, dan bunga mulai terbuka. Intinya sama, kata-kata gombal, puitis dan cukuplah membuatku tersanjung. Namun tetap saja ada rasa kosong dalam hatiku. Bukan kali ini saja, tahun-tahun sebelumnya juga sama. Ada perasaan bersalah yang sulit dicerna atau dijelaskan. Entah apa maksudnya.

“Loh, surat siapa ini.” Amplop polos terselip diantara kemewahan kado. Rasa penasaran telah membakar rayuan kata yang masih terngiang. Kucermati, lalu dengan hati-hati aku membuka surat yang tak bertuan itu. Dua buah undangan terselip dalam amplop, tapi mataku lebih tertuju kepada isi suratnya.

“Maaf, kau tidak perlu mengenalku, tapi aku mengagumimu. Kalau tidak keberatan, dengan keikhlasan hati, aku mengundangmu hadir dalam wirid remaja dan insyaAllah akan menjadi pahala.”

TEMA ”Valentine Day”

Gedung AR-RAHIM, jalan Mutiara, pukul 13.30 WIB

Siapa ini, kenapa kata-katanya begitu sejuk dalam hati. Lama aku terdiam mencerna semuanya. Baru kali ini ada orang di luar sana yang peduli dengan ibadah atau agamaku. Sebelumnya, tak ada yang peduli apakah aku sholat atau tidak. Papa, dia sibuk dengan bisnisnya yang gak pernah usai. Bik Atik, iya, hanya dia yang setiap saat tak bosan-bosan memberi nasehat. Tapi ada yang berbeda dari surat ini, intinya ada orang yang peduli dengan keimanan. Kalau boleh jujur, shoping dan clubbing telah menjadi langkah kakiku akibat ketidakpedulian keluargaku.

***

Pagi ini sangat berbeda. Akan ada pertunjukan khusus penyambutan Valentine Day. Buktinya, panggung dengan nuansa pink telah didesain untuk acara nanti malam. Katanya akan hadir artis ibu kota menghibur pasangan kekasih.

“Hanny…” Suara yang sangat familiar terdengar di telingaku.

“Tau tidak….” Langsung aku ambil kemudi sebelum dia menceloteh panjang lebar.

“Jadi, ceritanya kamu kepengen pacaran gitu,” pancing Nia senang.

“Gak lah, belum waktunya. Tapi kalau suka sih iya, lagian hal itu wajar kan,” jawabku.

“Intinya, mau ikut nih.” Nia kembali ke pokok persoalan.

“Iya, kau tau aku ini tipe penasaran tingkat tinggi, tapi kau ikut kan?” tanyaku

“Gimana yah. Soalnya aku udah milih Wahyu jadi solmet nanti malam.” Walau gak enak hati, ia menolak.

Bujuk rayu telah kubuaikan kepada sahabatku itu. Tentu aku yang menang, sebab dinamapun ada Hanny, pasti di situ ada Nia. Tapi ini dia, ada syarat juga yang harus kupatuhi. Kalau acara wirid itu membosankan, nanti malam aku harus solmet sama Andre. Kok bisa, entah jampi-jampi apa yang telah dikeluarkan tim basket itu pada sahabatku ini.

Deal.” Terucaplah kata kesepakatan.

“Iya,” jawabku asal, yang penting penasaran ini bisa hilang.

Mobil BMW pink, telah menyatu ke dalam arus jalan raya. Sengaja langsung kupakai hadiah papa untuk menyamai hari kasih sayang. Tapi sebenarnya malas banget harus menerima kenyataan bahwa papaku ingkar janji lagi dan lagi. Aku hanya ingin kasih sayang darinya. Bukan mobil mewah ini.

“Kejutan apa ini.” Nia melihat banyak wajah-wajah familiar memasuki gedung AR-RAHIM.

“Valentine Day… hari ini yah,” pancing buk Nisa selaku motivator.

“Ok, kita mulai dari apa sih itu Valentine Day? Ada yang tau gak?” Pertanyaan itu begitu semangat direspon oleh para peserta.

“Hari kasih sayang, buk.” Nia tampak sangat bersemangat, lupa sebelumnya ia menolak ikut.

“Ya bagus, sekarang ada yang tau gak apa itu kasih sayang?” tanya buk Nisa lagi.

Tiga peserta telah mengemukakan argumennya masing-masing. Siapa yang menyangka salah satu dari tiga penjawab bisa membuat ruang seminar kocak menahan tawa, orangnya yang terlampau jujur atau bolos banget.

“Baik, sudah-sudah, kita lanjutkan lagi. Jadi, kasih sayang itu….” Bahan materi yang disampaikan mulai mengalir seperti air.

“Dosakah, aku!” Kebenaran yang mengejutkan dan secara logika itu terbukti nyata. Untuk apa selama ini aku merayakan kematian Valentine. Baru kini aku ketahui itu semua salah.

“Itu bukan budaya kita. Islam tidak pernah mengajarkannya. Asal mulanya saja kita tidak tahu.” Sesi terakhir ditutup dengan satu kesimpulan.

Lunglai, aku putuskan untuk pulang, tapi beban penyesalan ini telah membekukan kaki untuk melangkah. Setelah kejutan demi kejutan hari ini dan untuk pertama kali aku rasakan dalam hidupku. Jujur, inilah pertama kali aku merasakan batinku sejuk akan ceramah agama. Bukan tidak mau ikut-ikutan acara mentoring atau wirid remaja lainya, tapi emang tidak ada pengarahan kesana atau tepatnya aku yang belum menyadari betapa pentingnya acara ini.

Ya sudahlah, yang penting sekarang aku mengenal apa itu wirid remaja dan untuk tahun–tahun yang sempat kurayakan Valentine Day itu, biarlah berlalu. Itu dulu dan sekarang akan ada perubahan. Malam ini, aku akan di rumah. Tiba-tiba saja aku merindukan bik Atik.

“Nia, benar kan wirid remaja itu bukan seperti ibu-ibu yang suka kumpul, yang sering kita lihat?” Aku bercakap hanya untuk membunuh penyesalan.

”Iya-iya, beda kok. Emm.. Hanny, sudah kuputuskan malam ini adalah hari biasa, tidak ada hari istimewa lagi. Tapi untuk malam ini aku tidur di rumahmu yah.”

Kami sama-sama merasa bersalah. Percakapan ringan selanjutnya menjadi senjata ampuh penyesalan yang tengah merasuki.

Aku tau, penyesalan itu selalu akan berada di akhir kisah. Tapi aku tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Valentine Day yang dulu selalu kuharapkan, kini telah pudar berguguran bersamaan tumbuhnya rasa untuk mengenal apa itu agama.

“Hanny. Kamu sama Nia kok dapat undangan. Kalian kelas 11 kan?. Acara ini khusus untuk anak kelas 12,” tanya kak Anita tiba-tiba.

“Ooo… pantas aja semua isinya kakak kelas. Lalu siapa kakak yang mengagumimu itu, Hanny?” tanya Nia.

“Ciye…ciye… Ada di antara panitia yang suka sama Hanny nih ceritanya,” goda kak Anita tetangga rumahku.

Aku hanya tersipu malu. Bagiku, itu semua belum saatnya.

###

(Wulan Sardiana/MA KMI Diniyyah Puteri)