(Resmamita/MA KMI Diniyyah Puteri)

Tenangnya malam bertamu hujan, pukul 22.30 WIB

            Rintik-rintik hujan itu berukir tak beraturan di jendela kamar yang didominasi warna merah jambu. Seolah menggambarkan bahwa pemilik kamar tersebut adalah seorang perempuan berjiwa lembut. Ya,sosok berwajah manis itu bernama Nadhira Mahesa. Gadis itu sedang meletakkan telapak tangan kirinya di jendela kamarnya yang dingin. Hembusan napas lirih yang ia ciptakan membentuk uap tipis di kaca jendela yang menjadi teman malamnya. Dhira –panggilan gadis berjiwa lembut ini— sedang menutup matanya dengan senyum yang menghiasi bibir diwajah yang tampak seperti hasil mahakarya Tuhan yang sempurna. Lalu, terucaplah kalimat-kalimat ajaib yang selalu ia ucapkan setiap malam tanpa pernah terlupakan. Kalimat-kalimat ajaib itu ia gantungkan pada bintang-bintang yang selalu tampak berkilau diatas sana.

“Aku ingin kau yang menjadi gantungan putih yang kuat untuk mimpi-mimpiku wahai bintang,” ujar Dhira perlahan

“Aku ingin, aku di masa depan adalah seseorang yang membawa nama bangsa ini di kancah Internasional dengan menjadi psikolog dan motivator tingkat dunia. Berkantor di lantai 30 di salah satu gedung 40 lantai di ibu kota Negara yang mempunyai karya menginspirasi banyak orang. Terima kasih gantungan putih yang selalu mendengarkan aku di atas sana dan terima kasih Sang Pemberi Kehidupan,” ujar Dhira seraya membuka mata dan menatap yakin ke arah bintang yang tergantung cemerlang dalam naungan langit yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.

            Tanpa Dhira sadari, sepasang mata lelah dengan wajah keriputnya di usia ke 60 tahun ikut mengamini semua mimpi-mimpi Dhira yang tak lain adalah cucu satu-satunya. Nek Imah selalu ikut dalam ritual rutin cucunya ini tanpa Dhira ketahui. Inilah kisah tentang manusia-manusia yang diciptakan oleh Sang Pemberi Kehidupan di kota sederhana jauh dari ibu kota, namun menyimpan warna cerita sama menariknya dengan warna-warna cerita ibu kota.

***

Kamar Dhira berhias perasaan sendu, pukul 16.15 WIB

            Entah sudah berapa lama Dhira merenung di bawah selimut dengan aliran air mata yang tak kunjung berhenti membasahi bantal yang menopang dirinya. Tanpa teriakan-teriakan kekesalan ataupun amukan emosi. Dhira hanya menangis dalam sunyi. Namun terkadang, hal itu membuat kepedihan tersebut semakin dalam.

“Apa saja yang kau lakukan di rumah, hah?! Sudah tua bukannya semakin patuh pada suami!” seru seseorang di luar sana

“Kau saja yang tak tahu diri sebagai laki-laki di rumah ini. Kita sudah tua, tak usahlah kau macam-macam,” kata suara renta dengan emosi yang buncah beserta isakan tangis

“Hah! Jangan kau ceramahi aku. Aku tak butuh, yang aku butuh adalah uang untuk hutang-hutangku,” kata seseorang itu lagi

“Aku tak punya uang yang kau minta!” tegas nek Imah terhadap suaminya yang tak tahu diri. Aliran bening di wajahnya terus mengalir.

“Mana uang itu? Aku ini suamimu. Kau dengar ndak!”

“Kau suamiku? Suami macam apa yang pergi berbulan-bulan entah kemana. Padahal sudah 60 tahun, masih suka berjudi. Lalu kau pulang minta uang padaku. Suami macam apa kau?!” bentak nek Imah dengan mata menyalang

“Dasar istri tak berguna!” seru kakek Dhira sambil mendorong nek Imah hingga terjengkang.

            Kakek Dhira akhirnya pergi dengan muka merah padam. Walaupun sudah terbilang renta, kakek satu ini masih tampak kuat dengan segala ambisi duniawi. Dhira dengan tangisan lirihnya berharap kakeknya tidak pernah kembali lagi. Kakek yang seharusnya jadi pengganti ayah saat orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dinas keluar kota 8 tahun lalu. Ia pernah membela neneknya atas pertengkaran entah yang keberapa kalinya. Namun, kakek menamparnya hingga membuatnya jatuh terhuyung. Sejak saat itu, nenek melarangnya untuk ikut terlibat dan sekarang ia hanya bisa menangis berteman sunyi mendengar jika ada pertengkaran yang datang tanpa pemberitahuan. Hidup memang pahit dan memuakkan di samping masih menyimpan permen manis yang kita kenal sebagai kebahagiaan.

***

Teriknya siang selaras dengan panas hati Nadhira Mahesa, pukul 12.15 WIB

            “Aku benci,” isak Dhira dengan lirih.

Ia dalam keadaan yang menyedihkan bagi siapapun yang melihatnya. Kepalanya menunduk dalam dan terduduk lemas di bangku kelasnya. Seolah ada beban maha berat yang membuat air matanya tak berhenti mengalir. Seperti tidak cukup dengan masalah kakek nenek yang memuakkan, kini ia dihadapkan dengan masalah lain. Satu diantara masalah-masalah yang menyesakkan hidup. Namun, seperti ada kekuatan magis yang merasukinya, Dhira segera bangkit. Dengan langkah tegas ia keluar kelas. Di ambang pintu ia berhenti dan menarik napas dengan begitu yakin.

“Aku benci hidupku!,” teriak Dhira. Ia pun berlari kencang menuju arah pulang. Kekuatan magis tadi bermetamorfosa menjadi energi besar yang membuat ia berlari dengan jarak rumah dan sekolah sekitar 15 menit yang biasa ditempuh dengan angkutan umum.

            “Aah!” teriak Dhira tanpa henti membuat orang-orang meliriknya dengan heran.

Masa bodoh dengan orang-orang tersebut, dibenak Dhira hanya ada masalah-masalah yang menyempit hatinya. Dimulai dari terpilihnya dia menjadi ketua OSIS, lalu dibebani dengan masalah tanggung jawab membimbing teman-temannya, namun yang terjadi adalah teman-temannya malah menjauhinya dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah mereka tidak ingin masuk buku hitam atas laporan Dhira. Bukan itu maksud Dhira atas jabatannya. Lalu dengan program-program kerja yang memiliki berbagai hambatan, tapi malah hal ini membuat ia harus selalu didesak oleh pembinanya untuk mengatasi semuanya. Dhira hanyalah seorang pemimpin kecil yang kewalahan karena tahu bahwa ia harus memimpin tanpa pengalaman sebelumnya.

            “Aah!” teriakan itu masih terus bergema.

Seakan tidak cukup hanya dengan satu masalah saja. Masalah lain datang berdatangan menghampirinya. Nilai-nilai Dhira turun akibat kesibukan dan tekanan emosional yang belum bisa ia kendalikan. Padahal ia adalah bintang kelas yang tak pernah turun dari tahtanya. Hal inilah yang membuat ia akhir-akhir ini masuk ruang guru untuk mendengarkan nasihat bahkan amarah dari para gurunya.

            Dhira membanting pagar rumahnya. Lalu membuka pintu rumah dengan kasar dan berlari ke arah kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di kasur bersama sedu sedan tangisan dengan seragam yang masih lengkap. Nek Imah masuk ke kamar cucunya dengan wajah yang tak kalah kusutnya.

“Dhira, kakekmu meninggal,” ujar nek Imah sambil terduduk lemas di ambang pintu.

Seperti ada yang mematikan lampu, sebab seketika kehidupan Dhira menggelap.

***

Waktu berlari kencang, 15 tahun kedepan pukul 20.00 WIB

            Dhira kini bukan lagi remaja dengan emosi yang meledak-ledak. Ia adalah seorang wanita dewasa dengan wajah yang memperlihatkan kematangannya dalam berpikir. Seorang wanita berpendidikan yang lahir dari pengalaman yang cukup mengajarkan arti kehidupan. Ia baru saja menginjak usia 31 tahun.

Dhira berdiri di balik kaca jendela kantornya yang bening. Senyum manis terukir di bibir yang masih sama dengan dahulu. Matanya terpejam.

“Terima kasih Sang Pemberi Kehidupan karena hanya Kau yang bisa mengabulkan segala impian. Terima kasih bintang-bintang yang masih setia mendengar dan melihat impian-impianku tercapai. Tunggu mimpiku selanjutnya wahai bintang dan aku selalu mencintai-Mu wahai Sang Pemberi Kehidupan,” ujar Dhira seraya tersenyum atas segala yang ia punya.

“Sayang, ayo kita pulang,” ajak seorang laki-laki tampan yang telah tiga tahun menjadi suaminya. Mereka berkerja dalam satu gedung, namun berbeda profesi. Sepasang manusia yang serasi, setidaknya itulah kalimat yang tepat untuk mereka.

            Berkat segala impiannya, Dhira berhasil menjadi seorang psikolog yang dikenal sebagai motivator di kancah nasional dan mancanegara. Dia juga seorang wanita yang dikenal dengan karya-karya yang membius siapapun yang membacanya seakan penulis-penulis legendaris kembali hadir. Dhira telah menerbitkan 10 buku dengan setengahnya mengalami 5 kali cetak ulang dan telah diterjemahkan ke dalam 7 bahasa. Ia berkantor di gedung 40 lantai dan kantornya di nomor 300 di lantai 30.

***

Saatnya melihat cerita lalu, 15 tahun ke belakang tanggal 16 Maret.

            Setelah kabar kakek Dhira meninggal, ia masih dalam keadaan berkabung dengan hatinya dan neneknya yang sedih walaupun Dhira bingung bukankah kakek adalah sosok yang buruk untuk Dhira apalagi bagi nenek. Namun, hati manusia tidak ada yang tahu, kecuali Sang Maha Tahu. Masalah Dhira dengan hatinya adalah masalah sekolah dengan cabang-cabangnya yang membuatnya tertatih ke sekolah. Sampai datang hari itu.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang itu.

Dhira mengangguk lemah tanpa melihat siapa yang bicara. Bagaimanalah kalau hatinya sedang berbendera hitam namun setengah abu-abu.

“Boleh saya duduk di sini?” tanya seseorang itu lagi.

Dhira menggerutu. Ia siap untuk membentak, namun semua ucapan itu tertelan kembali karena yang tampak adalah seorang perempuan 20 tahunan dengan mata yang tak bisa menikmati indahnya lukisan alam semesta.

“Boleh,” jawab Dhira singkat kemudian menunduk menekuri tanah kembali.

“Kenapa kamu bisa tahu ada orang di sini?” tanya Dhira tanpa mengalihkan pandangannya.

“Aku tahu dari hatiku,” jawab orang itu membuat Dhira tersentak mendengar kata hati disebut. Bagaimanalah hatinya sedang menangisi kehidupan.

“Hati? Kau tahu, hatiku pecah dengan masalah-masalah kehidupan yang aku tak mengerti darimana datangnya,” ujar Dhira tersenyum sinis. “Sudahlah. Aku tak tahu kenapa aku mengatakannya padamu di kursi taman ini. Lupakan saja,” kata Dhira kemudian.

Namun, Dhira kembali tidak melihat senyum lembut dari seseorang itu. Orang tersebut membawa kertas sketsa. Apakah ia ingin melukis? Tapi apa yang ia lihat? Bukankah hanya gelap?

“Aku ingin kamu mendengar suatu hal. Diamlah sejenak, lalu pejamkan matamu dan dengarkan suara angin yang beralun bagai musik. Cobalah,” ujar seseorang itu.

Awalnya Dhira menatap heran namun tak urung juga kalau dia melakukan hal yang dikatakan padanya. Dan yang terjadi adalah ketenangan yang begitu dirindukan Dhira. Ketenangan yang tidak ia dapat sebelumnya sehingga membuat ia tertatih dan belum bisa mengendalikan hatinya.

“Apa yang kau rasakan?” tanya seseorang itu seolah dia tahu kalau Dhira pasti melakukan apa yang dia katakan. Tapi memang benar bukan?

“Tenang. Damai,”

“Itu kan yang kamu cari sekarang?” tanya seseorang itu disambut dengan anggukan kecil dari Dhira

“Seorang novelis pernah berkata dalam bukunya bahwa jika kita diibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda. Terus berputar. Naik-turun. Mengikuti siklusnya. Kamu sedang mengalami siklus itu dan akan terus mengalaminya. Namun, penulis itu juga berkata hanya orang-orang dengan hati damailah yang boleh menerima kejadian buruk dengan lega. Yang harus kita lakukan bukan menunduk untuk melakukan kesalahan lagi yaitu dengan menyalahkan diri kita. Tidak. Tapi, berdamai dengan hati kita dan aku yakin kita bisa bangkit kembali dengan wajah yang baru walau dengan hati yang telah terkena obat merah. Namun ia akan tetap kuat sebagaimana pada awalnya. Aku yakin kita semua bisa karena waktu yang berjalan sekarang adalah penyembuh segala luka dengan satu obat yakni kesabaran,” ujar seseorang itu tanpa perlu menyebutkan namanya dan kemudian pergi setelah mendengar namanya dipanggil, mungkin oleh mamanya atau tantenya yang mengikutinya ke taman dan mengajaknya pulang.

            Nadhira Mahesa terpaku. Ya, ia merasa damai dengan hatinya serta masalah itu sedikit berkurang dan masalah itu akan semakin berkurang jika ia mulai menyelesaikannya dengan caranya bukannya dengan menunduk begitu dalam. Disinilah keyakinan itu datang. Keyakinan akan janji-janji masa depan. Keyakinan bahwa ia tahu jika alam akan selalu ada untuknya untuk mendengar segala kesah dan beban yang terkadang harus mengeluarkan air mata untuk menyelesaikannya. Tapi itu bukan masalah bukan? Keyakinan bahwa setiap masalahnya akan selesai karena Sang Pemberi Kehidupan selalu ada dan akan selalu ada. Ingatlah bahwa kehidupan juga ibarat sebuah garis, namun garis tersebut takkan indah tanpa cacat-cacat yang sebenarnya melengkapi garis tersebut agar tetap senada dengan tidak lurus dan membosankan. Apakah kau mengerti kenapa impian-impian yang selalu Dhira ucapkan di setiap malamnya bahkan saat ia tersandung jatuh dalam kubangan masalah bisa tercapai dengan izin langit?

# # #