(Nisa’ul Afifah/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

 

Deras hujan berlomba membuat rekor tercepat di pikiranku. Mengolah didihan kecil emosi dalam dadaku. Gigilan hujan kuhiraukan, karena terpana dengan langkah-langkah lewat tapak kaki mewah di depanku.

“Hei miskin, apa kau lihat-lihat sepatu mahalku ini,” teriak gadis bermulut besar dengan pagar merah menghiasi gigi besarnya.

“Tak ada, aku hanya memeriksa apakah ada permen karet di bawah sepatu mahalmu itu,” celotehku singkat dengan menenteng sepatu lusuhku yang penuh dengan genangan berwarna cokelat di dalamnya. Aku juga tak peduli dengan leburan makian lantangnya.

Pijakan demi pijakan kakiku membuat lantai jadi basah hanya karena kakiku yang terkena hujan. Sedangkan lantai yang tidak kupijaki utuh tanpa basah, sebab semua manusianya tak beralaskan bumi luas.

“Amii, kau lagi-lagi membasahi lantai dengan kaki kumuhmu itu. Kau tak usah sombong di sini dengan beasiswa yang kau peroleh,” ucap Rika, anak ketua yayasan sekolah ini.

Semenjak kecil, aku hanya hidup dengan ayahku, sedangkan ibuku pergi entah kemana. Ayahku bilang ibu pergi mencari suami baru yang dapat membelikan peralatan-peralatan mewah buatnya. Karena itu, setiap aku melihat manusia sombong dengan barang mewahnya, tanpa sadar emosiku memuncak karena dapat mengingatkanku pada ibu.

‘’Amiskin, hari ini ada PR, tidak?” tanya Lala di ambang pintu kelasku. Aku tak menyahuti panggilannya, karena aku tak merasa, walau panggilannya yang bertujuan menghina itu tertuju hanya padaku.

“Hei, kau tidak mendengar ya? Tuli!” teriak Lala lantang sambil memukuli meja belajarku dengan kasar.

               Aku pun pergi meninggalkan kelas yang mulai gaduh. Emosiku tak bisa tertahankan lagi. Tangis tersapu di tanah goresan kakiku. Aku menyusuri taman belakang sekolah, tempatku berbagi kisah pada langit yang selalu menyapaku dengan riang. Belum sempat langkahku menyapa bau basah kembang-kembang yang ada di sana, aku bersua dengan sekelompok temanku yang sedang membaca majalah. Aku tak peduli pada apa yang mereka baca dan mereka bicarakan, tapi mereka mencegatku dengan kasar.

“Amiskin, kau berani menerima tantangan kami, tidak? “ucap Maya dengan wajah sinisnya.

“Berani sekali kau, aku tak takut, memang apa yang ingin kau tantangkan?” ucapku dengan penuh perasaan kesal.

“Apa kau bisa membeli sepatu merah muda seharga dua ratus ribu dalam waktu satu bulan ini?” tanya Lili.

“Aku bisa, akan kubuktikan itu,” jawabku dengan semangat berkobar, lalu pergi meninggalkan mereka.

Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan dan kubicarakan. Aku hanya tidak ingin dihina miskin lagi. Aku ingin berteman seperti yang lain, bercerita dan tertawa sepanjang hari. Aku akan berjuang untuk mendapatkan sepatu itu. Tuhan, tolong aku…..

Kutatap wajah langit yang kian lama kian memucat, seolah tak mendukung tindakan nekadku yang jujur saja baru kali ini aku lakukan. Hampir saja kulupakan pendapat ayahku tentang semua ini dan mulai kulajukan kaki kecilku pada gubuk derita terindahku.

“Ayah…, ayah dimana?” tanyaku sedikit tergesa-gesa dengan dentuman nada jantungku yang mulai bergetar.

“Ayah di sini, di dapur” jawab ayah santai sambil menatapku dengan heran.

“Begini, yah. Ada yang ingin kukatakan,”ucapku sedikit tergagap menahan sakit perutku yang datang tiba-tiba.

“Memangnya ada apa, nak?” tanya ayah yang tak menyadari gelagatku yang berubah.

“Aku sudah berjanji pada temanku untuk membeli sepatu warna merah muda seharga dua ratus ribu dan waktunya hanya satu bulan, yah,” gumamku sambil kutatap ayah dengan takut-takut.

“Mi, lupakan saja perjanjian itu, uangnya kan bisa kau tabung untuk keperluan sekolah nanti.”

“Tapi, yah. Ya sudahlah, kalau ayah tak ingin membantuku, aku akan bekerja sendiri saja.”

Sikap membantahku kepada ayah, menurutku adalah sikap yang sangat tidak terpuji. Tapi entah bagaimana caranya aku bisa bekerja? Aku pun memeras otakku. Tatapanku tiba-tiba membias pada singgasana yang hanya terlihat itu-itu saja dengan warna yang tidak beragam. Tidak sama dengan singgasana yang dimiliki permaisuri di film-film kartun. Tergerak langkahku melihat koran harian bekas yang menjadi taplak mejaku. Sekian detik aku seperti mendapatkan ilham dari Tuhan bagaimana cara memperoleh lembaran-lembaran uang berwarna merah itu. Aku harus menulis, memaparkan kisah belengguku di atas kertas. Aku yakin pasti bisa.

“Mana pensilku, kertasku, aku ingin menulis,” gumamku tak jelas menjuluri setiap tapak kamarku.

               Tak terasa kata-kata harus bisa itu telah berbaur dalam mihrab pembawa rezeki ini. Aku ayunkan langkahku kira-kira 2 kilometer ke Mekar Pos, harian yang sering kudengar pemurah dalam menerima naskah. Sejujurnya, memang niatku dari dulu ingin menulis untuk berbagi cerita pada khalayak, tapi kini niatku berbeda.

“Pak, aku ingin kirimkan naskah, bolehkah?” tanyaku polos dengan rasa percaya diri yang dari tadi telah kutimbulkan.

“Silahkan, nak. Kau tunggu saja besok ya,’’ jawab bapak dengan seragam batik membiaskan senyum ramah yang menampakkan rentetan giginya.

Kulangkahkan kaki kecilku yang terasa sedikit panas karena tapak sendalku yang sudah menipis. Kelabu senja mulai tampak membahanakan senyumnya sedari tadi.

* * *

            “Ari, ayo kita pulang,” ucap seorang bapak dengan pakaian lusuh yang saling bercakap seusai bekerja membuat bangunan baru.

“Tunggu dulu, Gus. Aku ingin lembur, kau pulang dulu saja,” teriak bapak yang bernama Ari dari tingkat atas bangunan.

“Aku heran pada kau, tadi siang kau tak ikut makan, kini kau lembur. Aneh sekali” ucap pak Agus sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

* * *

Pikiranku bergema tercecer dimana-mana, maklum saja karena bangun dari kelelapan semalam.

“Tapi tunggu, bukannya tadi aku masih membuat tulisan di meja belajar, kenapa sudah di kasur ya?” tanyaku sejenak lalu mengucek mata. Ah, lupakan saja, mungkin aku menggigau karena letih. Ayah juga sedang marah padaku.

Kulangkahkan kakiku menuju tempat pendidikan yang dikenal sebagai sekolah favorit itu. Namun, kini ada yang berbeda dari kebiasaanku. Singgah sebentar menuju Mekar Pos akan menjadi kebiasaanku selanjutnya. Karena aku tak memiliki uang banyak untuk membeli koran edisi, kuputuskan untuk meminjam saja dan ternyata karyaku tak ada. Kepercayaan diriku menyusut.

Waktuku menjadi hari-hari dengan tulisan yang selalu berangkai dalam pikiran dan berlembar-lembar yang telah terdeteksi. Tapi, tak kunjung terpublikasikan. Bagaimana aku bisa mendapatkan uangnya kalau begini terus. Kuayunkan jariku untuk menghitung beberapa hari yang telah kuhabiskan untuk semua ini, tak terasa telah tiga minggu usai. Tersimpulkan tinggal seminggu lagi. Aku menyerah, angkat tangan pada segalanya.

Telah dua hari kuvakumkan diri menuliskan sesuatu. Tidak seperti biasanya, asing. Seperti ada ruh untuk melampiaskan ke secarik kertas itu. Aku ingin menulis lagi, tapi bukan untuk sebuah sepatu merah muda itu. Aku yakin jika aku bersungguh-sungguh mendapatkan sepatu itu, aku pasti bisa. Tapi, aku menyerah jika memakai cara lewat menulis. Kali ini, aku hanya ingin melepaskan penat. Melukiskan dalam sebuah kumpulan kata. Semoga indah.

“Mekar Pos, aku ingin kirimkan satu lagi tulisanku, tapi aku tak berharap kau upah aku,” senandung riangku membahana di istana kecil ini.

“Mi, kau hebat juga ya. Keren lho tulisannya,” ucap kak Iqbal selaku pengelola mading lewat di sampingku. Kentara sekali nada riang kak Iqbal denganku. Aku bingung. Kujawab saja “Terima Kasih”. Entah dari mana kakak itu tahu aku suka menulis.

Eits, mengapa jantungku berdetak cepat sekali ya. Kulihat ke depan mading sekolah dan memang firasatku benar, tulisan terakhir yang baru aku buat dari Mekar Pos terbit dan dikliping di mading. Hanya haru yang terasa. Aku berlari pulang menuju Mekar Pos. Tak tahu pelajaran selanjutnya yang akan kukorbankan, yang terpenting aku senang tak terkira. Terima kasih Tuhan, mungkin ini jalanku mendapatkan sepatu itu.

Genggaman berisi 150 ribu berkat tulisan itu telah ada di tanganku. Aku tak pernah memperkirakan semua ini. Seperti khayalan saja. Ini yang pertama dan bukan yang terakhir bagiku. Lagi-lagi terimakasih Tuhan. Rute Mekar Pos kualihkan ke tempat bekerja ayah. Aku yakin ayah juga ikut senang.

“Yah, tulisanku terbit, aku dapat 150 ribu.”

“Hebat kau.” Tak ada nada berang dalam nada ayah bicara. Aku senang.

“Berarti tinggal 50 ribu lagi kau butuhkan? Ini untukmu.” Ayah menyelipkan beberapa uang kertas lusuh ke tanganku. Lengkap sudah uangku 200 ribu. Heran, dari mana ayah dapat uang sebanyak itu. Ah, nanti saja. Yang terpenting aku harus ke toko sepatu itu sekarang dan mematut diri di kaca kamar.

Tanpa kenal malu, kusambar sepatu yang persis seperti di katalog itu dan kusesuaikan. Pas, lalu kuberikan saja uangnya ke kasir. Sang penerima uang itu hanya melihat sinis ke seragam sekolahku yang lusuh dan ia menyindirku. “Dek, sepatu yang dibeli tidak dapat dikembalikan.” Aku kesal sekali mendengarnya, dia kira aku tak tahu apa, mana ada orang yang tak tahu toko sepatu mahal ini bisa ganti-ganti sepatu.

Tanpa ucapan salam, kulangkahkan kakiku ke kamar agar cepat mematut diri di kaca. Ayah yang lelah pulang kerja hanya senyum-senyum saja melihat tingkahku yang seperti anak-anak. Satu hal yang membuatku tercekat, pandanganku beralih pada alas kaki ayah yang tak bisa kujelaskan bentuknya. Sendal jepit kerja ayah yang telah putus pengaitnya telah disambung ayah dengan tali berwarna putih yang telah penuh bintik hitam. Tapak yang seharusnya putih utuh telah banyak lecet dipinggirannya.

Buliran bening telah jatuh seketika di pipiku. Sepatu merah muda yang telah tergenggam, kulempar begitu saja. Ayah, maafkan aku. Tuhan telah memberikan jalan dengan corak indah untuk meluruskan jalan dan niatku yang salah, walau usahaku telah membuahkan hasil.

# # #