DSC 0005

(Juliwis Kardi, S.Pd.I, MA/Dosen STIT Diniyyah Puteri)

            “Jika aku seorang perempuan?” Itulah kata-kata yang sering terpikirkan olehku, kenapa demikian? Aku adalah seorang laki-laki yang tidak akan pernah menjadi perempuan sampai hari kiamat pun.

            Dulu, ketika aku bersekolah, mencontek, tawuran, pacaran, cabut, telat masuk sekolah dan buang sampah sembarangan merupakan suatu hal yang lumrah dalam keseharian sekolahku. Aku merasa sekolah dan tempat aku belajar hanyalah tempat untuk mengejar angka-angka di rapor. Targetku bagun pagi setiap hari, memakai baju seragam sekolah, membawa ransel yang berisi beban berat ke sekolah serta menghabiskan waktu dari pagi sampai siang hanyalah untuk mengejar nilai-nilai berbentuk angka. Nasehat-nasehat, motivasi yang disampaikan guru, aturan yang tertulis di sekolah dan ceramah-ceramah guru plus ceramah orang tua di rumah tentang semangat untuk belajar dan berusaha agar menjadi orang hebat di masa depan terasa seperti angin lewat bagiku dan rekan-rekan seperjuanganku. Karena faktanya sehari-hari aku hanya dituntut untuk mencari angka tinggi, bak ibaratnya seperti pemain togel yang pikirannya angka dan angka mujur yang harus keluar setiap hari. Makanya kalau aku dan rekan-rekan pulang bawa angka jelek, orang tua berkerut keningnya. Namun berbeda halnya jika bawa angka tinggi, orang tua langsung berkata “Iko yo sabana anak ayah jo ibu ko (kamu benar-benar anak ayah dan ibu). Aku pun berpikir sejenak, “Jika nilaiku jelek, aku ini anak siapa ya?”

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan ketika aku memasuki bangku perkuliahan. Bedanya hanya kalau dulu aku ingin mengejar angka untuk nilai rapor, sekarang aku mengejar angka untuk IPK. Kenapa begitu, karena kata pendidik, orang tua dan senior, kalau nilai IPK rendah, maka susah untuk mendapatkan pekerjaan setelah tamat dan susah mendapatkan istri, karena calon mertua malu melihat nilai IPK calon mantunya rendah. ”Cari karajo payah, cari bini pun susah.” Maka cocok dengan lagunya Iwan Fals di salah satu baitnya yang menyatakan “masalah moral, masalah akhlak, urus saja dirimu sendiri.” Semuanya berlomba-lomba untuk mencari nilai tinggi, mulai dari mencopy paste makalah senior, mencontek hasil jawaban teman sampai menipu petugas KHS (kartu hasil studi) agar nilai C jadi nilai A. Mahasiswa modern sangat kreatif-kreatif untuk mencapai cita-cita mendapatkan nilai tinggi.

Di samping itu, bukanlah suatu hal yang aneh ketika melihat mahasiswa berpacaran dengan bergandengan tangan laki-laki dan perempuan bak suami istri sakinah mawaddah dan warahmah di tempat umum. Dan tentu hebat lagi jika tidak ada orang lain. Asap mengepul dari mulut mahasiswa dari pagi sampai malam sudah menjadi hal biasa bagi mahasiswa, walaupun para ulama se-Indonesia telah datang ke ranah Minang tepatnya di kota Padang Panjang dan mengeluarkan suatu fatwa bahwa rokok itu hukumnya haram. Di samping itu juga berbahaya terhadap kantong. Teman-teman perempuan memakai jilbab juga hanya ala kadarnya untuk sekedar mematuhi aturan kampus, tanpa pernah memaknai hakikat dari pakaian yang dipakainya "Pokoknya awak jadi mahasiswa”. Anehnya lagi, para pimpinan dan pendidik bak orang buta dan tuli, kalau Gusdur mengatakan “itu aja kok dipikirin.’ Kalau orang Minang mengatakan “ndak usah dipikiakan.’ Memang aneh pendidikan modern sekarang, sampai-sampai perilaku mahasiswa juga canggih-canggih.

Akhirnya, kalender pun selalu bertukar setiap tahunnya. Melalui pertukaran kalender aku dipertemukan dengan suatu lembaga pendidikan swasta yang mana di sana ada lembaga pendidikan dari Paud sampai perguruan tinggi. Lembaga pendidikan itu bernama Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang yang sangat berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Kenapa disebut beda, karena kalau anda laki-laki pintar dengan nilai paling tinggi sejagat raya, Insya Allah tidak akan diterima sebagai santri (murid) di Diniyah Puteri. Tapi jika masih nekad juga ingin jadi santri di Diniyah Puteri, maka boleh pilih jadi murid SD atau TK, Alhamdulilah anda akan diterima. Karena hanya itu pilihan bagi laki-laki yang masih tetap bersikeras hati untuk jadi santri di Diniyah Puteri. Bedanya bukan hanya pada jenis kelamin, kalau kita buang sampah sembarangan di lingkungan Perguruan Diniyah Puteri, maka siap-siaplah untuk mengeluarkan uang dari dompet kesayangan yang hanya Rp 50.000, Kalau dipikir-pikir memang tidak seberapa bagi orang kaya. Jika anda perokok, harus pandai-pandai membaca tulisan “No Smoking” Kata orang Padang indak buliah marokok yang dipajang di setiap sudut perkarangan yang dipasang permanen dan memakai tiang dengan besi. Tapi jika masih nekad, siap-siapkan mental anda untuk ditegur satpam. Kalau santri ketahuan mencontek, langsung dipecat di tempat, walaupun bapaknya seorang profesor, pejabat tinggi, orang berduit, bahkan orang dalam sendiri. Bahkan aturan itu mulai diterapkan melalui Undang-undang yang dikeluarkan petinggi pendidikan kita. Kok tidak dari dulu pak he..he…he.

Begitulah sekilas pengalaman hidupku, mulai dari zaman sekolah, kuliah, dan bekerja. Berdasarkan pengalaman belajarku ini, terpikirlah olehku beberapa untaian kata berikut ini :

Jika aku seorang perempuan…

Aku merasa lingkungan sekolah dan kampusku di masa lalu bukanlah lingkungan yang bagus untuk membentukku menjadi pribadi yang kuat, tangguh dan berkarakter. Aku sangat kuatir akan kehormatanku, akhlakku dan kesehatanku, karena sekolah dan kampusku seolah-olah tidak peduli dengan hal itu.

Jika aku seorang perempuan atau orang tua seorang perempuan…

Maka aku akan memilih sekolah yang mampu menjagaku dengan baik, sekolah yang tidak hanya mementingkan nilai rapor, tapi juga memperhatikan akhlak dan kepribadianku, sekolah yang tidak hanya mengembangkan ranah kognitifku saja tapi juga ranah afektif dan psikomotorku, sekolah yang punya aturan-aturan yang jelas, melatihku untuk terus maju, berprestasi dan sekolah yang mengajarkanku tentang target-target kehidupanku di masa depan lebih dari hanya sekedar angka-angka di rapor.

Jika aku seorang perempuan….

Aku akan mencari kampus yang tidak sekedar mengajarkanku teori-teori yang menggunung, tapi aku akan mencari kampus yang mengajarkanku cara mempraktekkan ilmu, kampus yang aman bagi kesucian kehormatanku, kampus yang menjagaku dari pacaran, kampus yang bebas asap rokok, kampus yang melatihku untuk mandiri, jujur dan tidak mencontek, kampus yang mengembangkan kemampuanku untuk mahir berbahasa asing, kampus yang mengajarkanku banyak skill, menjadi trainer, menjadi peneliti, hafal Qur’an serta mengerti masalah manajemen dan dunia kerja. Itu semua dapat kutemukan di perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang.

Sayangnya, aku bukanlah seorang perempuan, untuk itu aku bertekad mendidik para perempuan untuk menjadi muslimah sejati.